CATATAN: Seorang mantan aktivis Mahasiswa Islam dari Yogyakarta menjapri (komunikasi pribadi) saya. Dia mengajukan beberapa pertanyaan terkait pertemuan GNPF dan Jokowi.
Berikut ini jawaban atas pertanyaan dimaksud
1. Ada yang berpendapat bahwa kelompok Islam kalah 2-3 dari kelompok “Kotak-kotak”, yaitu Ahok kalah Pilkada DKI dan masuk bui. Sedangkan kelompok Islam, HRS (Imam Besar Front Pembela Islam/FPI Habib Rizieq Shihab, red) tersandera, Al Khathathath (Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam) dibui, sedangkan GNPF MUI lempar handuk putih tanda kalah?
Jawaban saya:
Saya kurang sepakat mendeskripsikan perjuangan politik umat Islam berdasarkan kriteria “kalah menang” dan “tangkap-menangkap”.
Perjuangan Islam di Indonesia berdasarkan cita-cita, antara lain rebut kekuasaan negara dan ciptakan keadilan ekonomi yang selama ini dikuasai mutlak oleh ras Cina non-Muslim.
Gerakan politik Umat Islam kini jauh berbeda dengan era Orba (Orde Baru) yang sangat bergantung pada patron, seperti ketua atau pimpinan organisasi umat Islam formal. Kini sangat bergantung sikap umat kelas menengah perkotaan yang kian banyak, sekitar 30 persen.
Info tentang tangkap-menangkap itu mungkin bermanfaat untuk mempengaruhi umat Islam, agar terus berjuang. Kriteria paling tepat adalah keberhasilan calon pilkada dan pilpres dukungan umat Islam.
Menang atau kalah? Perlu dipahami, tokoh-tokoh Islam ditangkap dan ditersangkakan tidak masalah, karena mereka secara mental sudah siap dan punya keberanian menghadapi kehidupan di penjara. Jangan dinilai mereka dari perilaku diri kita yang nggak siap mental dipenjarakan.
2. Ada isu yang beredar, bahwa ormas yang tergabung di GNPF MUI (18 ormas, red) dapat fa’i (uang tanpa perang, red) Rp1 triliun/ormas?
Jawaban saya:
Isu ini diangkat oleh Djoko Edi Abdurahman, seorang advokat dan mantan anggota DPR. Itu masih isu, bukan informasi. Sebagai isu, masih multitafsir.
Djoko mengambil pengalaman NU (Nahdlatul Ulama) dan menjadikan isu fa’i ini sebagai ilustrasi. Masih ada isu lain, yakni kunjungan ke negeri Cina. Isu ini hanya untuk mengkritik UBN (Ustaz Bachtiar Nasir) dkk bertemu Jokowi.
Pengritik pada prinsipnya oposisi terhadap Jokowi, bukan oposisi terhadap GNPF MUI. Saya pribadi, nggak percaya isu itu.
Hal ini tetap sebagai isu sepanjang pihak-pihak yang merasa dituduh tidak merespons secara hukum atau ambil langkah gugat Djoko ke pengadilan.
3. Kelihatan kurang ada koordinasi antara GNPF MUI dengan Pak Amien Rais, sehingga Amien panggil mendadak Ustaz Sambo ke Yogyakarta?
Jawaban saya:
Benar tidak ada koordinasi. Mereka jalan sendiri-sendiri. Ada semacam persaingan ketokohan memimpin gerakan umat Islam antara UBN di satu pihak dengan Kelompok Usamah Hisyam (Ketua Umum PP Persaudaraan Muslimin Indonesia/Parmusi), Al Khathathath, dan Alfian Tanjung (dosen Universitas Muhammadiyah Hamka).
Indikasi ini sudah terlihat pada Aksi Bela Islam ke Komisi III DPR pimpinan tiga serangkai Usamah Hisyam, Al Khathathath, dan Alfian Tanjung (dua terakhir ini sudah ditahan oleh rezim Jokowi).
Aksi kali itu tidak melibatkan atau mengikutkan HRS dan UBN. Saya menangkap, ada indikasi persaingan kepemimpinan Aksi Bela Islam.
Soal Amien Rais, sepengetahuan saya, bersikap tegas dan tumbangkan kekuasaan rezim Jokowi melalui Pilpres 2019.
Saya percaya, dia tidak punya pikiran untuk bertemu atau kompromi dengan rezim Jokowi, seperti modus UBN bertemu Jokowi hari pertama Idul Fitri lalu.
4. Berdasarkan hal-hal di atas, apakah semua itu hanyalah termasuk strategi umat dalam perjuangan ke depan, termasuk untuk pertarungan 2019?
Jawaban saya:
Perjuangan Islam akan jalan terus menumbangkan kekuasaan rezim Jokowi melalui Pilpres 2019. Namun, peta kepemimpinan umat Islam dalam politik kekuasaan ini tidak lagi melibatkan UBN.
Tokoh Aksi Bela Islam I, II, dan III ini akan berhenti tampil di depan. Hal ini sebagai konsekuensi dari pertemuan dirinya dengan Jokowi di Istana yang mengundang pro kontra umat Islam nasional.
Akan muncul tokoh-tokoh baru tanpa kompromis dan lebih radikal terhadap rezim Jokowi. (*)
Oleh Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior Network for South East Asian Studies (NSEAS)