SEJAK berdiri, BPJS kesehatan selalu terus alami defisit keuangan. Pada 2014, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp3,3 triliun. Angka tersebut meningkat menjadi Rp5,7 triliun pada tahun 2015, Rp9,7 triliun pada tahun 2016, dan tahun 2017 ini kembali alami defisit sebesar Rp9 triliun. Bahkan, disinyalir bisa tembus diangka Rp11 triliun. Defisit keuangan ini ditandai adanya ketidakseimbangan antara income dan outcome yang dialami BPJS Kesehatan.
Di tahun 2016, DPR RI telah menyetujui subsidi dana Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp6,5 trilliun. Subsidi ini untuk membantu defisit BPJS Kesehatan, dengan penegasan pihak DPR bahwa support dana PMN dimaksud adalah yang terakhir.
Faktor Utama Defisit
Ada enam faktor utama yang sebabkan BPJS Kesehatan terus alami berlanjutnya defisit dari tahun ke tahun. Pertama, pemerintah memberikan subsidi peserta bantuan iuran (PBI) BPJS Kesehatan terlalu over dosis dan banyak yang tidak tepat sasaran. Data warga miskin versi Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 sebesar 27,76 juta orang. Namun, pemerintah justru menyubsidi peserta PBI hingga 98 juta orang untuk kelas III sebesar Rp23 ribu/orang/bulan selama satu tahun.
Menurut penulis, lebih baik jumlah peserta subsidinya diminimalisir dan tepat sasaran. Kelebihan biaya subsidinya diarahkan untuk menambah manfaat atau bisa juga untuk dana cadangan menutupi defisit keuangan. Di lapangan pun banyak temuan distribusi PBI yang tidak tepat sasaran. Sebab, subsidi PBI yang tidak tepat sasaran ini dinilai turut memberikan sumbangan terjadinya kecemburuan sosial di tengah warga.
Kedua, pihak faskes dan RS mitra BPJS Kesehatan seolah belum ikhlas menerima skema pembiayaan INA-CBGs dari BPJS Kesehatan yang dianggap tidak menguntungkan secara bisnis. Banyak yang mencari alternatif/jalan pintas meraup fee dengan segala cara dari rakyat maupun BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, jika mendorong, solusinya dengan merubah pola INA-CBG’s ataupun menaikkan iuran BPJS Kesehatan, namun pelayanan kesehatan tidak ada perbaikan, tentu akan mendapat penolakan masyarakat luas.
Ketiga, besarnya tunggakan iuran peserta BPJS kesehatan mandiri. Banyak warga yang membayar iuran BPJS Kesehatan apabila mengalami sakit saja. Jika sudah sembuh, tidak lagi melanjutkan iurannya. Meski BPJS Kesehatan telah merekrut kader Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari kalangan masyarakat, namun sayangnya banyak kader JKN yang urung bekerja di lapangan guna menagih iuran peserta. Mereka tidak tahan menerima banyak protes masyarakat yang mengeluhkan buruknya pelayanan kesehatan dari faskes dan RS mitra BPJS Kesehatan. Mereka seolah tidak mau menjadi “bumper” atas buruknya pelayanan mitra BPJS Kesehatan tersebut.
Keempat, iuran BPJS kesehatan pemberi kerja unsur pemerintah daerah banyak yang menunggak iuran BPJS Kesehatan. Tercatat enam pemerintah propinsi yang menunggak iuran BPJS Kesehatan, yakni Aceh, Sumatera Utara, Riau, Banten, Papua, dan Papua Barat. Ada 76 pemerintah kabupaten/kota yang menunggak iuran BPJS Kesehatan. Bahkan, ada lima pemerintah kabupaten/kota yang belum membayar iuran sama sekali dengan total piutang mencapai Rp240,5 milyar (2016). Selain itu, masih banyak BUMN dan BUMS yang belum menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Kelima, dalam banyak kasus pelayanan faskes dan RS mitra BPJS Kesehatan yang dinilai buruk dan tidak taat terhadap asas kepatuhan prosedur BPJS Kesehatan. Dalam konteks ini, patut disayangkan justru Kemenkes dan BPJS Kesehatan tidak tegas dalam menerapkan sanksi terhadap faskes dan RS yang melanggar asas kepatuhan sebagai mitra BPJS Kesehatan. Sebagai contoh, adanya diskriminasi antara pasien umum dan BPJS Kesehatan. Banyak ditolaknya pasien BPJS Kesehatan, karena fasilitas kamar rawat inap RS penuh, RS minta uang muka perawatan kesehatan, kelangkaan obat bagi peserta BPJS, dan sebagainya, dinilai turut mendorong ketidakpercayaan publik terhadap pelayanan BPJS Kesehatan.
Keenam, menguatnya fenomena moral hazard yang mendera pengelolaan BPJS Kesehatan. Adanya temuan KPK atas 1 juta klaim fiktif dari mitra BPJS Kesehatan (faskes dan RS) turut membantu titik terang pentingnya pemberantasan korupsi di sektor tersebut. Muncul pertanyaan, jika BPJS Kesehatan alami defisit keuangan, lalu siapa yang diuntungkan? Sebab, sedikit sekali pihak faskes dan RS yang merugi menjadi mitra BPJS Kesehatan.
By Design atau Accident
Dengan demikian, tentu harus dilakukan perbaikan sistemik terhadap pengelolaan BPJS Kesehatan yang hingga per 1 September 2017 telah mempunyai peserta 180 juta orang. Perbaikan harus bermula dari keenam faktor di atas. Jika tidak, diyakini lilitan defisit yang dialami BPJS Kesehatan tetap akan terus terjadi. Defisit keuangan BPJS Kesehatan seolah kuburan massal bagi peserta BPJS Kesehatan yang bisa mengancam keuangan negara dan keberlangsungan JKN.
Defisit BPJS Kesehatan, pastinya sudah bisa diprediksi terus terjadi, jika perbaikan hanya “tambal sulam” saja. Apalagi, jika tetap dipaksakan sesuai target capaian universal health coverage (UHC) di tahun 2019. Sebab, dengan jumlah peserta 180 juta-an saja, pengelolaan dan pelayanan BPJS Kesehatan sudah karut-marut dan defisit, apalagi jika sudah capai UHC dengan kepesertaan seluruh rakyat Indonesia. Melihat model demikian, nampaknya defisit BPJS Kesehatan bukan karena by accident (kecelakaan/kondisi tidak terduga), melainkan by design (sudah terdesain) dari sistem tata kelolanya.
Wallahu ‘alam bisshawab
Oleh Hery Susanto, M.Si, Koordinator Nasional Masyarakat Peduli BPJS