PERDANA Menteri Mahathir Mohamad beberapa waktu lalu (12/5/2018) mengumumkan suatu Dewan Penasehat, Council of Elders, yang terdiri dari Taipan, Mantan Menteri Keuangan, Mantan Dirut Petronas, dan seorang mantan Gubernur Bank Sentral.
Mahathir mengatakan tugas dari dewan adalah mengawasi perekonomian Malaysia yang tengah berjalan agar tetap dalam koridor, memacu pertumbuhan, mengurangi utang, dan bersahabat dengan investasi.
Satu-satunya perempuan dalam dewan penasehat tersebut adalah Dr. Zeti Akthar Aziz, mantan Gubernur Bank Sentral Malaysia.
Zeti jelas bukan makroekonomis yang biasa. Ia adalah seorang mantan Gubernur Bank Sentral yang menjabat selama 16 tahun, sejak masa pemerintahan Mahathir yang pertama.
Ketika tahun 1998, tepat pada saat Malaysia berada di tengah pusaran Krisis Keuangan Asia 1997-1998, ia menjabat sebagai pelaksana tugas (acting) Gubernur Bank Sentral yang juga ketua tim kebijakan capital controlled, sekaligus Deputi Gubernur Bank Sentral.
Zeti adalah ekonom perempuan yang memimpin perekonomian Malaysia mengambil jalan yang berbeda dari doktrin IMF. Dan ia berhasil membawa Malaysia melalui krisis ekonomi terburuk dalam sejarah Asia tersebut.
Saat itu di tahun 1997-1998, IMF menginginkan agar negara-negara pasiennya di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Thailand, memberlakukan rezim kapital bebas, kurs mata uang mengambang, dan suku bunga tinggi (pengetatan moneter).
Zeti malah memberlakukan hal sebaliknya di Malaysia. Ia kemudian menerapkan apa yang disebut sebagai rezim kapital terkendali (capital controlled), kurs mata uang tetap (pegged), dan suku bunga rendah. Kendali kapital hanya diberlakukan selama setahun, sementara kurs tetap diterapkan hingga tahun 2005 di Malaysia.
Pendukung IMF, seperti Prof. Steve Hanke dari John Hopkins University menyebut dalam sebuah artikel di majalah Forbes, “Malaysia, telah membuang jauh-jauh pelajaran (ekonomi) dari setengah abad terakhirâ€.
Steve Hanke menyitir kata-kata dari Friedrich Hayek’s, Bapak Ekonomi Neoliberal, yang menyatakan bahwa karakterisasi dari kendali pertukaran (kapital) sebagai “langkah pasti menuju jalan totalitarianis medan .. penindasan akhir dari segala cara untuk bebasâ€.
Tapi Zeti memiliki alasan mengapa ia menolak pendekatan model IMF, yang disebutnya sebagai “ortodoks dan konservatifâ€, dan malah melakukan pendekatan yang bertolak belakang.
Jawabannya Zeti sederhana, “untuk mencegah kehancuran (ekonomi)â€. Dalam sebuah wawancara dengan majalah Wharton, Zeti menyimpulkan situasi tersebut, “mungkin tantangannya adalah ketika menyimpang dari pendekatan kebijakan yang ortodoks dan konvensional dalam mengatur sistem ekonomi dan keuangan, khususnya dalam suatu krisis atau ketika mengambil inisiatif yang melibatkan pemecahan landasan baru.â€
Perekonomian Malaysia pun sukses melalui Krisis Keuangan Asia 1997-1998 tanpa tergores sedikit pun. Joseph Stiglitz, peraih penghargaan Nobel Ekonomi, sampai memuji Zeti sebagai “suatu contoh utama dari institusi yang bagus dan seseorang yang dari dirinya seluruh dunia dapat belajar banyak halâ€.
Selama menjadi Gubernur Bank Sentral (2000-2015), Zeti memainkan peran utama dalam mempromosikan inklusi keuangan bagi seluruh lapisan masyarakat Malaysia.
Sehingga pada tahun 2020 yang tinggal dua tahun lagi, Malaysia akan masuk ke kelompok negara berpendapatan tinggi (GDP Percapita di atas USD 10ribu). Pada masanya juga, Malaysia pada tahun 2009 memiliki terobosan sebuah undang-undang baru tentang Bank Sentral (Malaysia’s Central Banking Act), yang memastikan setiap proses pengambilan kebijakan Bank Sentral dapat lebih demokratis, transparan dan jelas sehingga menghindarkan penyalahgunaan wewenang.
Dalam undang-undang ini diatur tujuan Bank Sentral adalah “stabilitas moneter dan stabilitas keuangan yang kondusif untuk pertumbuhan yang berkelanjutan†dari perekonomian Malaysia. Istilah “pertumbuhan yang berkelanjutan†memberikan Bank Sentral keleluasaan melakukan interpretasi stabilitas harga secara lebih luas.
Di sini terlihat Zeti berbeda pendekatan dari ekonom konvensional yang hanya melulu menjaga agar inflasi rendah, tanpa mempedulikan dampaknya yang memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Dari pemaparan tentang Zeti Akhtar Aziz, kita dapat menangkap perbedaan yang kontras antara dirinya dengan sesama ekonom perempuan dari Indonesia, Sri Mulyani.
Zeti lebih merupakan anti-tesis Sri Mulyani. Bila Zeti menolak pendekatan IMF terhadap perekonomian Malaysia, Sri Mulyani sejak dahulu hingga kini masih bangga sebagai promotor IMF di Indonesia.
Bila Zeti dalam 18 tahun kiprahnya (2 tahun plt Gubernur Bank Sentral & 16 tahun Gubernur Bank Sentral) sukses membawa pendapatan perkapita masyarakat Malaysia mencapai USD 10 ribu di 2020, setara negara maju, Sri Mulyani dalam 8 tahun kiprahnya (5 tahun Menkeu era SBY & 2 tahun Menkeu era Jokowi) dapat membawa pendapatan perkapita masyarakat Indonesia ke USD 10 ribu baru pada tahun 2042 nanti, atau 22 tahun lebih lambat dari Malaysia.
Bila Zeti berhasil membuat terobosan inklusi finansial dan UU Reformasi Bank Sentral di Malaysia, reformasi yang dilakukan Sri Mulyani di Kementerian Keuangan Indonesia, yang digembar-gemborkan dahulu sejak zaman SBY, telah gagal karena kini pegawai Kemenkeu tetap saja korup.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)