PENGETATAN anggaran (austerity) adalah resep yang tidak pernah berhasil dari mazhab ekonomi neoliberal. Di negeri-negeri Eropa yang sedang terlanda krisis, austerity yang dipaksakan oleh Troika (Bank Dunia, IMF, dan Uni eropa) malah semakin memperburuk perekonomian dalam negeri.
Anehnya, meskipun terbukti telah gagal di Eropa, resep pemotongan anggaran ini kembali diterapkan di Indonesia oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) sejak bergabung dalam Kabinet Presiden Jokowi pada Agustus 2016.
Dengan melakukan berbagai pemotongan anggaran di APBN 2016, yang jumlahnya mencapai Rp 133,8 triliun, sama artinya SMI mempersempit ruang gerak perekonomian Indonesia ke depan. Akibatnya akan sangat banyak program-program pembangunan fisik (infrastruktur) dan pembangunan manusia yang mangkrak.
Salah satu yang hampir pasti akan mangkrak adalah program andalan Presiden Jokowi membangun Poros Maritim.
Bila masalahnya adalah kurangnya (shortfall) penerimaan perpajakan, seharusnya SMI dapat lebih kreatif dalam mencari sumber pendanaan/penerimaan (Tax Amnesty pun sebenarnya bukan ide SMI, karena sudah terlontar jauh sebelum SMI bergabung dalam kabinet).
Sebagai ekonom yang sejati, SMI seharusnya dapat menciptakan nilai tambah dari berbagai potensi perekonomian Indonesia yang selama ini terpendam. Hanya sayangnya memang SMI bukanlah tipikal ekonom yang mampu “kerjaâ€.
Menurut kesaksian seorang ekonom senior yang pernah menjadi mentor SMI, SMI memang bagus dalam menulis dan berpidato, tapi tidak bisa “kerjaâ€. Di kalangan perbankan juga rekam jejak SMI sebagai ekonom yang tak mampu “kerja†sudah menjadi buah bibir sejak lama.
Bila tidak kreatif dalam mendorong perekonomian, hanya berpedoman pada prinsip kuno business as usual, maka perekonomian hanya akan tumbuh di kisaran 5,0-5,3% tahun ini. Namun, bila tim ekonomi dapat lebih kreatif, menciptakan banyak terobosan, maka pertumbuhan akan dapat menembus 6,5%.
Hanya sayang SMI bukanlah tipe pejabat yang percaya pada terobosan. Hal ini diakuinya sendiri dalam pidatonya di Fakultas Ekonomi UI tanggal 26 Juli 2016, sehari sebelum masuk Kabinet Jokowi.
Biang Masalah Utang Luar Negeri
Kini tentang utang luar negeri. SMI seringkali mengeluh bahwa sistem APBN Indonesia tidak sehat karena sudah sampai tahap “berutang untuk bayar bunga utangâ€. Dikatakan oleh SMI, telah terjadi defisit dalam keseimbangan primer, yang berarti kita meminjam untuk keperluan ‘me-nyervice’ utang masa lalu.
Namun, bukankah tingginya utang masa lalu kita adalah juga kesalahan SMI juga, yang pernah menjabat Menteri Keuangan sejak 2006 hingga 2010? Berdasarkan data dari Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (2011), total penerbitan Surat Berharga Negara/SBN (bruto) sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 adalah sebesar Rp 473,3 triliun.
Dengan bunga SBN yang termasuk tinggi di era SMI menjabat Menkeu 2006-2011, seharusnya dari total utang luar negeri dalam bentuk SBN di akhir 2016 yang mencapai Rp 2.700,82 triliun, sumbangan SMI mungkin mencapai 40%-nya.
Tentang bunga SBN yang tinggi ini pun SMI memiliki cerita. Karena “kemurahan†hatinya pada investor, SMI pun diganjar berbagai penghargaan internasional dan tak pernah absen masuk ke dalam tokoh yang berpengaruh di dunia.
Contohnya, menurut catatan Direktur CEDeS Edy Mulyadi, pada 2008 SMI menerbitkan global bond dengan bunga sebesar 6,95%, menjadi yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN. Padahal saat itu Malaysia hanya memasang bunga 3,86%, Thailand 4,8%, bahkan Filipina (yang saat itu dikatakan sebagai The Sick Man of Asia) memasang bunga sebesar 6,5%. Kemudian, pada 2009 SMI kembali menerbitkan global bond dengan bunga super tinggi, mencapai 11,75%.
Padahal saat itu Filipina hanya pasang bunga 8,5%. Bunga Indonesia saat itu hanya kalah sedikit dari Pakistan, negara yang setiap hari diguncang bom, yang memasang 12,5%.
Kesimpulannya, SMI sebenarnya adalah bagian dari masalah negeri ini. Dirinya tidak pernah menjadi bagian dari solusi, apalagi terobosan.
Satu-satunya harapan adalah kabar bahwa SMI sangat dekat dengan pemerintahan Amerika Serikat, tapi ini pun menjadi pupus setelah kemenangan Trump (karena kabarnya SMI dekatnya dengan geng Clinton).
Jadi praktis keberadaan SMI di kabinet Indonesia saat ini sudah tidak ada nilainya lagi, alias zero value.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)