MENTOR saya, Bang Rizal Ramli bilang, “Ahok tidak punya corporate experiences, klas Glodok”.
Ahokers Hard-Liner bereaksi. Dikapitalisasi oleh Charles Honoris dengan berkata, “Rizal Ramli dangkal sekali”.
“Mungkin kontribusi mereka (Klas Glodok) buat negara nggak kalah sama Rizal Ramli yang hanya lebih kencang saja teriaknya,” lanjut Charles Honoris.
Ahokers balik nyerang & tuduh Rizal Ramli rasis. Charles Honoris tampil sebagai Super Hero; Pembela Komunitas Tionghoa dari sentiment rasis Anti Tionghoa.
Rizal Ramli pun rada blingsatan. Dia shock difitnah sebagai rasis Anti Tionghoa. Sampe umbar informasi dirinya yang rekrut Jonan dan rekomendasi Thomas Lembong.
Dua figur Tionghoa ini tidak lebih bagus dari Ahok. Cuma lebih santun. Ngga sekasar Ahok. Masing-masing punya plus-minus.
Medsos ramai. Kubu Anti Ahok pura-pura bela Rizal Ramli. Mereka balik serang, melebarkan serangan dan mempertajam caci-maki dengan mengungkit figur-figur koruptor etnik Tionghoa.
Kecemburuan kelas sosial dikipas. Mereka pelintir justru para pedagang etnik Tionghoa di Glodok mendapat fasilitas spesial dari negara dan pejabat.
Misalnya; pedagang Tionghoa lebih mudah dapat pinjaman bank. Mereka cenderung lebih dipercaya otoritas perbankan daripada pedagang Pribumi.
Bukan salah pedagang Tionghoa. Pemberi pinjaman bank bukan negara. Pedagang Tionghoa di Glodok sama sekali tidak dapat privellege negara apa pun.
Akibat manuver para Super Hero penyerang Rizal Ramli itu, etnik Tionghoa jadi sasaran racial-hatred dan racial-slur.
Padahal Rizal Ramli bukan seorang rascist. Kolega Tionghoanya banyak.
“Klas Glodok” istilahnya sama sekali ngga punya tendensi peyoratif dan rasis. Di Glodok itu banyak pedagang Pribumi.
Misalnya my colleagues; Mr Waluyo dan Eko Galgedung. Keduanya akrab dengan Mr Chen Yi Ching pemilik Gedung HWI Glodok.
Istilah “Klas Glodok” merujuk pada swasta. Sehingga Rizal Ramli benar; Ahok yang berkarakter seperti Bos Pabrik, Bos Toko Spare Parts atau Preman Pasar Glodok nggak pas ditempatkan ke dalam mekanisme birokrasi state-corporate macam BUMN.
Karakter “swasta” Ahok tampak saat dia jadi Gubernur Jakarta. Interaksi Ahok dan ASN Pemda jadi mirip pola hubungan Bos-Karyawan. Mayoritas Bos Toko kerap ngomelin buruhnya sesuka hati.
Padahal birokrasi tidak begitu. Harus ada diplomasi dan seni. Jenderal Sutiyoso tidak pernah mempermalukan ASN selama menjabat Gubernur Jakarta. Approachnya beda dengan Ahok.
Salah satu karakter “Klas Glodok” adalah trust. Saya bisa pinjam modal atau hutang kepada Mr. Chen Yi Ching hanya dengan modal tanda-tangan di atas kertas rokok. Karena dia percaya saya. Nama baik yang utama. Jadi bisa cincai.
Pola bisnis corporate tidak bisa begitu. Semuanya berdasarkan aturan main legal formal.
Salah penempatan Ahok dalam ruang birokrasi sudah diketahui publik, ribut melulu.
Menurut saya, itu yang dikuatirkan Bang Rizal Ramli. Dan menurut saya, dia benar.
Oleh Zeng Wei Jian, Aktivis Etnis Tionghoa