19 Februari 2017, in my way to Vihara Ekayana Graha, saya lewat Tanjung Duren Utara. Kawasan orang kaya. Rumahnya gedongan. Upper Middle Class. Banyak spanduk Paslon Badja.
Sementara di gorong-gorong gang tikus, tidak ada spanduk Badja. Cuma ada spanduk Anies-Sandi dan Agus-Silvi. Ahok-Djarot disinyalir juga menang di apartemen-apartemen, mall, fitnes centre dan tempat kursus pilates.
Pro-kontra Ahok menyeret kontradiksi kelas. Si miskin, proletar, dan golongan menengah ke bawah bersikap anti Ahok. Sebaliknya, kaum borjuis bangkrut moral, ex pejuang buruh, komunis elit, analis gadungan, pegiat sosmed madness militan pro Ahok.
Khusus komunitas Tionghoa disinyalir ada sekitar 70% dukung Ahok. Terutama “cina-kristen”-nya. Dengan demikian, kontradiksi kelas paralel bisa in-line dengan antagonisme rasial.
Aneh, tiba-tiba saja komunitas minoritas ini jadi aktif berpolitik. Di titik ekstrim, mereka berlagak paling piawai ngomong masalah negara dan politik. Sudah lebih dari 30 tahun, mereka tidak begitu. Pasca BAPERKI dan PKI dihabisi dari panggung politik nasional. Seiring naiknya Ahok jadi gubernur, arogansi orang-orang Tionghoa tajir ini pun naik.
Anak-anak mereka ngamuk di sosmed. Mereka cibir orang-orang miskin dan slum area. Mereka membenarkan praktek penggusuran ganas yang dilakukan Ahok terhadap lebih dari 10 ribu KK.
Dalam sebuah video klip rap hip hop, begundal Ahoker bahkan berani meledek habaib. Jaya Suprana disebut “cina pengecut” oleh akun anonim bernama Bengcu. Lieus Sungkharisma kerap mendapat telepon gelap dan sering dimaki sebagai “pengkhianat cina” (hanjian). Demikianlah kelakuan anak-anak ingusan ahoker.
Anak-anak vandal ini suka bikin hoax. Mereka bilang Ahok bikin kali jadi lebar. Dari 5 meter, jadi 30 meter. Karena itu, menggusur tanpa dialog apalagi kompensasi adalah tindakan benar. Padahal, metodologi “pelebaran” bisa saja diganti “pengerukan”.
Pola ini mampu menampung debit air. Ini juga merupakan bentuk lain dari tehnis normalisasi sungai. Sehingga penggusuran inhuman bisa diminimalisir.
Penggusuran Ahok sarat kekerasan. Korbannya banyak. Bikin sakit hati. Ciptakan dendam sosial. Dilakukan dengan paksa. Demi kenikmatan mata borjuis bangkrut moral dan anak-anak mereka.
Directly or not, borjuis (termasuk Tionghoa) dan anak-anak mereka mendukung kekerasan terhadap masyarakat. Sudah selayaknya orang-orang Tionghoa mawas diri. Berhenti bersikap jumawa. Berperilaku sok paling jago berpolitik.
Stop mengira Ahok itu membanggakan. Stop merasa kekuasaan Ahok dan genk-nya akan bersifat permanent. Jangan menciptakan ketegangan dan dendam sosial dengan bertindak unfair.
Jangan pula berperilaku seolah merasa paling berjasa di negeri ini. Faktanya, peran komunitas Tionghoa dalam proses kemerdekaan tidak terlalu signifikan. Ada, tapi tidak sebesar laskar-laskar pribumi.
Yang paling penting, stop arogansi. Dahulu, Yap Thiam Hien dikucilkan saat BAPERKI dominan karena berada di Barisan Sukarno dan PKI. Begitu angin politik berubah atau rezim berganti, ternyata, Yap berada di pihak yang benar.
Oleh Aktivis Tionghoa, Zeng Wei Jian