KedaiPena.Com – Rasio utang terhadap PDB (debt to GDP ratio) memang sudah tidak relevan untuk digunakan. Kita tidak bisa membandingkan nilai keseluruhan utang dengan keseluruhan ekonomi.
Demikian dikatakan peneliti Lingkar Studi Perjuangan Gede Sandra, merespon pernyataan mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.
“Yang masuk akal adalah membandingkan kewajiban utang pertahun dengan penerimaan negara setiap tahun. Dari sana-lah didapat angka 40% yang disebut oleh Pak SBY untuk tahun 2021. Dan persentase itu dapat terus membesar di tahun-tahun berikutnya,” kata dia, Selasa (12/1/2021).
Untuk mengetahui seberapa berat beban pelunasan utang dan bunganya, lanjut Gede, perlu juga mempertimbangkan indikator neraca keseimbangan primer.
“Dulu zaman SBY, selama 8 tahun awal pemerintahan neraca keseimbangan primer selalu surplus. Artinya negara tidak perlu berhutang untuk melunasi bunga utang,” ujar Gede.
Namun di era Jokowi, sudah sejak tahun pertama memetintah neraca keseimbangan primer selalu mengalami defisit. Artinya di bawah Jokowi sudah 6 tahun ini negara perlu berhutang untuk melunasi bunga utang.
“Nilai defisit keseimbangan primer yang terus membengkak. Bila di tahun 2014 defisit keseimbangan primer di angka Rp 94 triliun, tahun 2020 defisit keseimbangan primer sudah melewati Rp 700 triliun. Meningkat 7 kali lipat,” sesal Gede.
Rezim Jokowi, terlalu bernafsu hingga kelebihan berutang. Karena tidak melakukan perhitungan yang matang, tampak pemerintah telah berlebihan dalam melakukan pembiayaan atau menambah utangan.
“Diketahui defisit anggaran tahun 2020 ternyata hanya Rp 956,3 triliun, tapi pemerintah terlalu bersemangat menarik utang baru hingga Rp 1.190,9 triliun. Yang artinya terdapat kelebihan penarikan utang sebesar Rp 234,7 triliun, yang dinamakan sisa anggaran tidak terpakai,” sambung dia.
Bila dikalikan dengan yield hari ini (6%), dari kelebihan penarikan utang tersebut terdapat bunga minimal Rp 14 triliun. Rp 14 triliun ini adalah bunga yang mubazir. Jelas negara sangat dirugikan karena tetap harus membayar bunga yang sangat besar atas dana yang tidak terpakai.
“Saya bukan ahli hukum, tapi seharusnya KPK atau BPK dapat masuk untuk menyelediki potensi pelanggaran hukum. Karena jelas ada pihak yang diuntungkan pada saat negara dirugikan,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyoroti melonjaknya utang RI, yang saat ini difokuskan untuk menangani Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Presiden RI ke-6 itu mengatakan, pemulihan ekonomi bisa didorong dengan meningkatkan permintaan. Tujuannya untuk menggerakan kembali aktivitas dunia usaha dan investasi yang mandek. Diakui, SBY untuk melakukan itu memang membutuhkan proses dan tidak bisa kilat.
Kendati demikian, dia memandang pentingnya untuk bisa melakukan proses yang tidak bisa begitu saja datang. Perlu kebersamaan dan upaya terpadu antara pemerintah dan dunia usaha dan masyarakat luas.
“Tantangan utama yang bakal dihadapi oleh pemerintah adalah bagaimana fiskal dan APBN kita bisa dikelola dengan baik. Juga bagaimana utang Indonesia dapat dikontrol secara ketat dan serius,” ujar SBY dalam akun media sosial Facebooknya.
“Utang yang ada menurut saya sudah sangat tinggi dan karenanya tidak aman. Persoalannya bukan hanya meningkatnya rasio utang terhadap PDB Indonesia, tetapi yang berat adalah utang yang besar itu sangat membebani APBN kita. Membatasi ruang gerak ekonomi kita,” kata SBY lanjutkan.
Untuk diketahui, data Kementerian Keuangan mencatat pada APBN 2020 pembiayaan yang berasal dari utang baru yang mencapai Rp 1.226,8 triliun. Utang tersebut naik lebih dari tiga kali lipat atau tumbuh 180,4% dari realisasi pembiayaan utang pada 2019 yang hanya mencapai Rp 437,5 triliun.
Penarikan utang baru itu juga jauh lebih besar dari target dalam APBN 2020 yang sebesar Rp 351,9 triliun. Namun masih dalam rentang yang diproyeksikan dalam Perpres 72 Tahun 2020 yang sebesar Rp 1.220,5 triliun.
“Betapa beratnya ekonomi kita jika misalnya 40% lebih belanja negara harus dikeluarkan untuk membayar cicilan dan bunga utang. Jadi, jangan hanya berlindung pada persentase debt-to-GDP ratio yang dianggap masih aman dan diperbolehkan undang-undang. Bukan disitu persoalannya,” ujar SBY.
Menurut SBY persoalannya terletak pada kemampuan pemerintah untuk membayar utang tersebut yang dirasakan sudah sangat mencekik.
SBY berpendapat permasalahan utang yang sangat serius itu secara bertahap bisa diatasi. Caranya menurut dia dengan mengurangi defisit anggaran.
“Kalau tahu penerimaan negara jauh berkurang, karena pemasukan dari pajak juga terjun bebas, ya kendalikan pembelanjaan negara. Pemerintah harus sangat disiplin dan harus berani menunda proyek dan pengadaan strategis yang masih bisa ditunda,” tuturnya.
SBY juga menyinggung perekonomian Indonesia pada 1960. Kala itu ekonomi Indonesia dinilai sebagai titik terendah, karena pemerintah tidak pandai mengontrol pembelanjaan yang kelewat tinggi atau bisa diibaratkan ‘besar pasak daripada tiang’.
Oleh karena itu, menurut SBY pemerintah harus disiplin dan tetap mengatur keuangan negara dan harus bisa mengendalikan ekonomi agar ekonomi Indonesia di tahun-tahun mendatang bisa diselamatkan.
“Pemimpin dan pemerintahan yang bijaksana tentu tidak akan mewariskan masalah dan beban yang sangat berlebihan kepada pemerintahan-pemerintahan berikutnya,” ujarnya.
Pada Rabu (6/1/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan defisit APBN 2020 realisasinya lebih rendah dari yang ditargetkan dalam Perpres 72 Tahun 2020 yang sebesar Rp 1.039,2 triliun atau 6,34% dari Produk Domestik Bruto (PDB)
“Defisit dari APBN 2020 mencapai Rp 956,3 triliun,lebih kecil dari Perpres 72 yang tadinya defisit Rp 1.039,2 triliun,” jelas Sri Mulyani saat melakukan konferensi pers virtual, Rabu (6/1/2021).
Defisit anggaran terjadi lantaran penerimaan negara yang jauh lebih rendah dari belanja negara. Di mana penerimaan negara pada 2020 sebesar Rp 1.633 triliun dan belanja negara mencapai Rp 2.589 triliun.
Laporan: Sulistyawan