KedaiPena.Com – Konsep ekonomi yang diterapkan pada saat pemerintahan almarhum presiden Abudurrahman Wahid, atau Gus Dur adalah konsep ekonomi kerakyatan. Dengan skema tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak mengandalkan impor untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Hal itu disampaikan Begawan Ekonomi Rizal Ramli di Malang, ditulis Senin (1/2/2019).
“Zaman Gus Dur, itu kita gak ada cerita impor pangan, karena konsep ekonomi kerakyatan yang kita terapkan,” tegas Rizal.
“Apa itu (ekonomi kerakyatan)? Ya dengan menjalankan kinerja pemerintah yang berpihak kepada rakyat, terutama petani yang menjadi salah satu tulang punggung di sektor ekonomi kita,” sambung eks penasehat ekonomi PBB ini.
Menurutnya, Indonesia merupakan negara yang bisa menjadi mangkuk dunia di sektor pangan. Hal ini tentunya mengingat Indonesia merupakan negara agraris.
“Loh, bagaimana kita mau impor beras, garam, gula, wong negara kita ini negara agraris kok, apa kurangnya, baik petaninya maupun lahannya,” tegas Rizal.
Rizal juga mengungkapkan bahwa saat itu Gus Dur menginginkan Indonesia berdaulat di sektor pangan, ekonomi dan politik.
“Gus Dur ingin kita berdaulat, ekonomi, politik dan ada keberpihakan. Jadi ekonomi itu bukan hanya soal itung-itungan, itu sih tukang. Tapi ekonomi yang penting berpihak kepada siapa dulu baru dicari itungan-itungannya. Itulah yang menjelaskan kenapa saya dengan Gus Dur menjadi sangat deket sekali,” jelasnya lagi.
Ia juga menambahkan, bahwa di era kepemimpinan Gus Dur, indikator perkembangan ekonomi mengalami kenaikan dari sebelumnya minus 3 menjadi 4,5 persen. Kesejahteraan rakyat juga meningkat, pangan stabil dan genie indeks paling rendah dalam sejarah Indonesia, yakni 0,3 persen.
Kondisi itu, kata Rizal, berbeda dengan pemerintahan saat ini yang banyak melakukan impor. Pemerintahan sekarang dinilai memiliki keberpihakan yang kurang jelas.
“Kalau hari ini, kurang jelas keberpihakannya. Kalau pidato memang Presiden Joko Widodo, kalau kampanye pingin kedaulatan pangan, setop impor ini, kurangi impor ini, dan lain-lain. Tapi empat tahun kemudian yang terjadi sebaliknya. Indonesia menjadi raja impor, nomor satu gula dan lain-lain. Dan itu merugikan petani,” katanya.
Rizal menilai, hal itu terjadi karena tidak konsistennya antara cita-cita, strategi, kebijakan dan personalia. Sehingga yang terjadi inkonsistensi dan kurang berpihak kepada masyarakat kecil.
“Cita-cita ke kanan, maunya kedaulatan pangan, tetapi strateginya impor ugal-ugalan. Kebijakannya juga impor setiap saat, personalianya juga dipilih yang raja impor,” tutupnya.
Laporan: Ranny Supusepa