DALAM membahas RUU Pemilu sekarang ini, baik DPR maupun Presiden, DPR dan Pemerintah seharusnya sudah tidak lagi membahas perlu tidaknya menerapkan parliementary treshold) (ambang batas bisa tidaknya anggota DPR dilantik dengan ambang batas tertentu bagi parpol peserta Pemilu) dan presidential treshold (ambang batas perolehan kursi parpol di DPR untuk mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden).
Penentuan ambang batas seperti itu sudah tidak ada relevansinya pasca putusan MK tahun 2014 yang menyatakan bahwa Pemilu untuk memilih DPR, DPD, DPRD dan Presiden/Wakil Presiden mulai tahun 2019 wajib dilaksanakan serentak pada hari yang sama.
Rumusan Pasal 22E UUD 1945 telah dengan jelas menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu itu dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD serta memilih Presiden dan Wakil Presiden. Khusus tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden UUD 45 menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum dilaksanakan.
Norma Pasal UUD 45 di atas itu, selama ini diplintir oleh Pemerintah dan beberapa fraksi DPR untuk mewujudkan keinginan politiik mereka agar jumlah pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat dibatasi. Frasa kata “sebelum pemilihan umum dilaksanakan” diartikan sebagai sebelum pelaksanaaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
Padahal sejatinya, maksud Pasal 6A dikaitkan dengan Pasal 22E UUD 45 dengan jelas menunjukkan bahwa Pemilu dilaksanakan serentak dan setiap parpol peserta pemilu berhak untuk mengajukan calon presiden dan Wakil Presiden sebelum Pemilu dilaksanakan.
Kalau pemilu memang wajib dilaksanakan serentak, maka pembicaraan tentang treshold atau ambang batas perolehan kursi di DPR sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden menjadi tidak relevan samasekali.
Putusan MK mengenai pemilu serentak itu didahului dengan perdebatan akademis yang panjang. Saudara Effendi Ghozali dan saya adalah pemohon yg dengan gigih memperdebatkan pemilu serentak tersebut di sidang MK yang akhirnya menjadi keputusan yang mengikat bagi semua pihak di negara ini.
Namun setelah MK memberikan putusan Pemilu serentak, masih saja ada pikiran-pikiran inkonstitusional yang menghendaki agar ambang batas atau treshold baik untuk Pemilu DPR maupun Pemilu Presiden/Wakil Presiden tetap ada, bahkan dengan angka lebih tinggi sari sebelumnya.
Pemikiran yang lebih musykil mengenal ambang batas ini justru datang dari Mendagri yang ingin menjadikan perolehan kursi dalam Pemilu DPR sebelumnya dijadikan sebagai dasar penentuan ambang batas syarat pencalonan Presiden dan Wakik Presiden.
Perolehan hasil Pemilu lima tahun yang lalu itu, tdk ada alasan rasionalnya untuk dijadikan dasar penentuan ambang batas. Situasi politik sudah berubah dalam kurun waktu lima tahun, karena itulah harus diadakan pemilu lagi.
Andaikata, ambang batas tetap ada seperti diinginkan Pemerintah dan beberapa fraksi DPR dlm Pemilu serentak dan disahkan menjadi undang-undang, dalam keyakinan saya, aturan seperti itu untuk sekali lagi akan dibatalkan MK dalam proses uji materil.
Karena itu, demi melaksanakan UUD 45 secara konsekuen, maka kepentingan politik golongan dalam membahas perlu tidaknya ambang batas ini hendaknya disingkirkan jauh2 dari sekarang. Membangun bangsa dan negara haruslah dengan kesatria dan berjiwa besar. Jiwa yang kerdil hanyalah akan mengerdilkan bangsa ini.
Oleh Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra