KedaiPena.Com – Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra melakukan judicial review meliputi pengujian formil dan materil terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat pimpinan AHY Tahun 2020.
Langkah Ketua Umum PBB yang mewakili kepentingan kubu Moeldoko ini disayangkan oleh kader senior Partai Demokrat Rachland Nashidik. Yusril sendiri mengaku netral dalam skandal pembegalan Partai Demokrat oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
“Tapi skandal hina pengambil-alihan paksa Partai Demokrat oleh unsur Istana, yang pada kenyataannya dibiarkan saja oleh Presiden, pada hakikatnya adalah sebuah krisis moral politik. Dan orang yang mengambil sikap netral dalam sebuah krisis moral, sebenarnya sedang memihak pada si kuat dan si penindas,” kata Rachland sapaanya dalam keterangan tertulis, Jumat, (24/9/2021).
Rachland juga menyayangkan, pendapat Yusril yang mengatakan jika saat ini terdapat kekosongan hukum berupa ketiadaan otoritas negara untuk menguji kesesuaian AD/ART partai politik dengan Undang-Undang.
“Tapi harapan agar partai partai politik di Indonesia menjadi partai politik modern, ada pada semua pihak. Justru karena itu, andai benar Yusril peduli, maka ia harus memeriksa AD/ART semua partai, bukan cuma Demokrat,” kata Rachland.
Dalam keperluan itu, kata Rachland, ia bisa saja memilih bertindak sebagai Profesor Tata Negara yang berjuang dengan sepenuhnya pamrih akademis. Rachland menegaskan, Yusril sedianya bisa mendorong legislative review terhadap UU Partai Politik agar kekosongan hukum yang disebut bisa dibahas para legislator.
“Tapi tidak, ia justru secara spesifik dan selektif menyoal AD/ART Partai Demokrat. Melewatkan secara sengaja AD/ART partai partai politik anggota koalisi pemerintah,” papar Rachland.
Padahal, lanjut Rachland, faktanya ada partai anggota koalisi pemerintah yang memiliki struktur Majelis Tinggi namun dengan kekuasaan. Bahkan jauh lebih besar dan berwenang membatalkan semua keputusan Dewan Pengurus.
“Yusril, bila meneliti, pasti juga akan menemukan AD/ART partai lain pendukung Jokowi yang mengatur KLB hanya bisa diselenggarakan atas persetujuan Ketua Dewan Pembina,” ungkap Yusril.
Dengan kondisi demikian, Rachland mempertanyakan, mengapa hanya partai Demokrat yang menjadi sorotan dan pilihan Yusril. Rachland pun menilai Yusril mendapatkan keuntungan dari praktik politik yang dilakukan oleh Moeldoko.
Padahal sebagai advokat, lanjut Rachland, Yusril sebenarnya bisa menolak menjadi Kuasa Hukum Moeldoko tanpa berakibat pupusnya akses pada keadilan.
“Moeldoko bukan orang miskin. Duitnya mampu membeli jasa advokat lain. Tak bisa lain, klaim netralitas Yusril adalah tabir asap yang sia-sia menutupi pemihakannya pada KSP Moeldoko. Alih-alih kampiun demokrasi, seperti klaimnya sendiri, Yusril dalam kasus ini justru adalah kuku-kuku tajam dari praktek politik yang menindas,” tandas Rachland.
Laporan: Sulistyawan