KedaiPena.Com-Guru Besar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menilai gagasan pembentukan Mahkamah Pancasila (MP) untuk menjaga etika dan perilaku warga negara khususnya para pejabat absurd. Menurut Yusril, usulan tersebut absurd jika didasari pandangan filosofis bernegara dan hierarki norma di Indonesia.
“Lima dasar dalam landasan filosofis bernegara itu adalah rumusan filosofis, bukan normatif. Sebagaimana rumusan norma peraturan perundang-undangan dan code of conduct,” kata Yusril dikutip, Kamis,(13/6/2024).
Yusril menegaskan, Pancasila merupakan landasan filosofis bernegara yang dirumuskan founding fathers bangsa dengan susah payah di tahun 1945 dan ditempatkan di dalam Pembukaan UUD 1945.
Sebagai landasan filosofis, kata Yusril, kedudukannya lebih tinggi dari norma-norma dasar penyelenggaraan negara sebagaimana tertuang di dalam teks pasal-pasal UUD NRI 1945.
Lebih lanjut, Yusril menerangkan, bahwa norma di dalam pasal UUD NRI 1945 seharusnya dirumuskan berdasarkan landasan filosofis bernegara di dalam lima dasar Pancasila itu.
“Begitu pula norma undang-undang, selain merupakan penjabaran lebih lanjut dari norma konstitusi, norma itu juga merupakan transformasi dari landasan filosofis Pancasila itu dalam arti praktis penyelenggaraan negara,” jelas Yusril.
Selain itu, kata Yusril, etika para pejabat atau penyelenggara negara, hal tersebut tidaklah berkaitan secara langsung dengan landasan filosofis bernegara dalam lima dasar Pancasila.
Yusril menegaskan, bahwa etika para pejabat ialah sebuah code of cunduct yang berisi kewajiban dan larangan yang berlaku bagi penyelenggara negara.
“Dari mana sumber perintah untuk menyusun “code of conduct” itu? Dari norma undang-undang,” papar Yusril.
Yusril lantas mencontohkan, code of conduct itu seperti UU KPK yang memerintahkan kepada Dewan Pengawas KPK merumuskan kode etik KPK. Hal itu, senada dengan UU ASN memerintahkan untuk merumuskan Kode Etik ASN.
“Begitu juga UU Advokat memerintahkan agar organisasi advokat merumuskan Kode Etik Advokat. Demikian juga profesi-profesi yang lain seperti Notaris, Dokter, Akuntan dan seterusnya,” tegas Yusril.
Dengan demikian, tegas Yusril, kode etik atau code of conduct tak mungkin lebih tinggi lantaran perumusanya telah diperintahkan oleh Undang-Undang atau UU.
“Jadi, Mahkamah Kode Etik atau Dewan Kehormatan kedudukannya tidak akan lebih tinggi dari badan peradilan yang menjalankan fungsi menegakkan hukum dan undang-undang,” tegas Yusril.
Berdasarkan uraian di atas, gagasan untuk membentuk Mahkamah Pancasila untuk memeriksa pelanggaran kode etik atau code of conduct penyelenggara negara adalah sebuah gagasan yang absurd.
Lima dasar yang dirumuskan dalam landasan filosofis bernegara itu adalah rumusan filosofis, bukan rumusan normatif sebagaimana rumusan norma peraturan perundang-undangan dan code of conduct.
“Karena itu, gagasan membentuk Mahkamah Pancasila adalah gagasan yang tidak pada tempatnya jika dilihat dari pandangan filosofis bernegara kita, serta hierarki norma yang berlaku di negara kita ini,” tutup Yusril.
Laporan: Muhammad Lutfi