TRANSFORMASI profil Indonesia di panggung global dalam 1 dekade terakhir pasca reformasi 1998 tidak terlepas dari peran Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono. Dari sebelumnya, pasca 1998 berkembang skenario Indonesia mengalami “balkanisasi”, ancaman disintegrasi, dan krisis ekonomi yang dalam, namun Indonesia dalam periode 2004 – 2014 muncul menjadi kekuatan baru yang dikenal sebagai “emerging country” dengan profil positif di komunitas internasional.
Mencermati perubahan profil Indonesia di panggung global ini, Velix Vernando Wanggai mempertahankan disertasi program doktor di bidang ilmu hubungan internasional di Universitas Padjadjaran yang diselenggarakan di Bandung, 13 April 2017. Dalam sidang ujian promosi Doktor ini dihadiri Presiden Republik Indonesia ke -6, Susilo Bambang Yudhoyono, Ibu Ani Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono, mantan Sekretaris Kabinet Dr. Dipo Alam, Walikota Bogor Dr.Bima Arya Sugiarto dan Rektor UNPAD Prof Dr. Tri Hanggono Achmad dan Rektor UNPAR Dr. Mangadar Situmorang.
Disertasi Doktor yang ditulis Velix Wanggai berjudul “Peran Karakteristik Personal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Indonesia Periode 2004 – 2014 (Studi Kasus Penanganan Internasionalisasi Masalah Papua)”.
Penelitian yang dilakukan Velix Wanggai, yang juga pernah sebagai Staf Khusus Presiden SBY bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, memiliki aspek spesifik dan originalitas karena berbagai riset di Indonesia belum pernah menggunakan pendekatan “personal characteristics of leader framework” dengan kasus figur seorang kepala negara atau presiden, dalam hal ini, Presiden SBY.  Di dalam konteks ini, Velix Wanggai membedah sisi psikologi politik SBY dari beliefs (cara pandang), motives (motivasi kebijakan), decision style (cara memutuskan kebijakan) dan interpersonal relation style (cara berkomunikasi dengan pembuat kebijakan lain).
Dari sisi “beliefsâ€, SBY memandang nasionalisme dan internasionalisme saling melengkapi dan tidak saling menegasi satu sama lain. Ia lebih percaya dengan nasionalisme yang sejuk, moderat dan terbuka dan adaptif dengan lingkungan internasional. Riset juga melihat “motif SBY†adalah seorang yang bertipe “need for afilliation” yang mengedepankan kerjasama, kemitraan dan jalan tengah ketimbang tipe “need for power” yang hanya mencari pengaruh dengan kekerasan dan persaingan.
Hal itu tercermin dengan tawaran konsep “geopolitics of cooperation”, “soft power”, dan konsep “dynamic equilbrium”. Pandangan dasar ini yang akhirnya melatari Presiden gencar mendorong diplomasi kemitraan dalam bentuk kemitraan komprehensif (comprehensive partnership) dan kemitraan strategis (strategic partnership) dengan Amerika, China, Rusia, Belanda, Jerman, Australia, Korea Selatan, Jepang dan Papua Nugini. Dari setiap kemitraan komprehensif ini, Presiden SBY mengikat negara-negara lainnya untuk menghormati kedaulatan nasional, integritas wilayah dan persatuan dari gangguan kekuatan separatis di luar negeri.
Sementara itu, dalam konteks “decision style dan interpersonal relations styleâ€, Presiden SBY merumuskan strategi “Look East Policy”. Di dalam negeri, SBY melihat pentingnya percepatan pembangunan Papua dalam payung otonomi asimetrik Papua. Strategi ini sebagai bagian soft power yang mengutamakan sisi kultural, dialogis dan kesejahteraan ketimbang cara-cara militeristik. Itulah, mengapa SBY menawarkan rekonstruksi otonomi khusus menuju otonomi khusus plus sebagaimana solusi yang diterapkan di Aceh. Sementara di luar negeri, SBY menggenjot strategi Look East Diplomacy dengan membangun hubungan baik secara personal dan kenegaraan dengan negara-negara di kawasan Pasifik Selatan dan Pasifik Barat Daya.
Perhatian ke kawasan Pasifik Selatan karena dinamika pergerakan simpatisan Papua Merdeka yang gencar di kawasan ini sejak tahun 1998. Pasca Kongres Rakyat Papua (KRP) II pada awal Juni 2000 telah menyebabkan Komunike Pacific Island Forum (PIF) mengangkat isu Papua dan di tahun 2006 juga Komunike PIF menyoroti isu hak asasi manusia di Papua. Namun dalam masa 2006 hingga 2014 masalah Papua tidak pernah diangkat dalam Komunike PIF. Sementara itu, forum Melanesian Spearhead Group (MSG) mengangkat isu hak asasi manusia di Papua dalam Komunike MSG tahun 2013 yang kemudian Presiden SBY membuka diri atas kunjungan Delegasi Menteri Luar Negeri negara-negara MSG minus Vanuatu ke Papua pada Januari 2014.
Dalam merawat geopolitics of cooperation di Pasifik Selatan ini, Presiden SBY memecahkan kebuntuan hubungan bilateral dengan sejumlah negara. Setelah kunjungan Presiden Soeharto ke PNG di tahun 1979, Presiden SBY mengunjungi PM Michael Somare di PNG pada tahun dan membangun hubungan baik dng PNG. Demikian pula, SBY mengunjungi Australia pada awal 2005 setelah kunjungan resmi Presiden Indonesia di tahun 2001. Sementara itu, SBY melakukan kunjungan bersejarah untuk pertama kalinya seorang Presiden Indonesia ke Fiji pada pertengahan 2014. Kunjungan-kunjungan ini sebagai bagian dari strategi Indonesia merespon geopolitik Pasifik dalam mendukung keutuhan wilayah Indonesia.
Mengenalkan “The Yudhoyono Doctrine”
Dari upaya menggali berbagai pemikiran, gagasan dan kebijakan-kebijakan Presiden SBY sepanjang 10 tahun, Velix Wanggai merumuskan 9 gagasan dan rangkaian kebijakan SBY dalam istilah baru dalam ilmu dan praktek hubungan internasional, yakni “The Yudhoyono Doctrine” atau Doktrin Yudhoyono.
Adapun 9 elemen dan prinsip dari “The Yudhoyono Doctrine”, yakni, pertama, prinsip revitalisasi dan reorientasi politik luar negeri bebas aktif yang lebih adaptif, terbuka dan konektivitas dengan lingkungan strategis yang dinamis. Di sinilah, Indonesia memainkan peran sebagai jembatan dan penengah atas soal-soal global.
Kedua, prinsip pendekatan “all direction foreign policy” dan “a million friends, zero enemy”. Di tengah perubahan dan pergeseran lingkungan global, Indonesia lebih memilih sikap bebas dalam menentukan arah dan orientasi politik luar negeri. Ketiga, prinsip identitas internasional Indonesia, dimana Islam, demokrasi dan pembangunan atau modernity dapat berjalan seiring.
Sedangkan prinsip keempat, dari The Yudhoyono Doctrine adalah prinsip nilai Kerukunan Antar Peradaban atau “Harmony among Civilization”. Indonesia mempromosikan nilai toleransi dan bhineka tunggal ika sebagai identitas internasional.
Prinsip kelima yakni memilih pendekatan “geopolitics of cooperation” ketimbang “geopolitics of conflict” dengan membangun kemitraan komprehensif dan kemitraan strategis dengan berbagai negara-negara demi kepentingan nasional Indonesia.
Demikian pula, pendekatan keenam, adalah menerapkan pendekatan “soft power” dalam melaksanakan pelbagai kebijakan luar negeri maupun kebijakan domestik bagi Papua. Pilihan SBY untuk memperkuat Otonomi Khusus untuk Papua sejalan pula dengan dukungan sejumlah negara yang menganggap pentingnya sebuah “wider autonomy for Papua” atau otonomi khusus yang lebih luas. Ini berarti terbangun solusi jalana tengah, atau win-win solution dalam memecahkan soal kebangsaan.
Prinsip ketujuh adalah SBY menawarkan gagasan pertumbuhan berkelanjutan yang inklusif dan berkeadilan. Ide ini dirumuskan dalam bentuk langkah-langkah percepatan pembangunan Papua maupun di dalam merumuskan konsep Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai pengganti MDGs 2015.
Kemudian, prinsip kedelapan adalah Presiden SBY menawarkan arsitek perdamaian Asia Pasifik dengan prinsip keseimbangan yang dinamis atau “dynamic equilibrium”. Ada ruang hubungan yang stabil dan damai antara kekuatan-kekuatan besar dan kekuatan-kekuatan menengah baru (emerging countries) di Asia Pasifik dalam menciptakan struktur hubungan yang stabil.
Terakhir, prinsip kesembilan dari the Yudhoyono Doctrine adalah menerapkan prinsip “Security for All”. Artinya, pendekatan keamanan diarahkan lebih ke sisi individual, human security, agar situasi keamanan lebih inklusif menyentuh setiap warga. Prinsip ini ditawarkan oleh Presiden SBY kepada negara-negara guna menciptakan arsitektur perdamaian di Asia Pasifik dan belahan benua lainnya.
Prinsip dari the Yudhoyono Doctrine ini menjadi orientasi baru bagi fondasi kebijakan luar negeri Indonesia. Fondasi ini juga sebagai road map bagi Pemerintahan Joko Widodo di dalam merevitalisasi dan melanjutkan pola kebijakan internasional dalam mengatasi internasionalisasi isu Papua yang semakin menguat dewasa ini.
Oleh: Dr. Velix Wanggai, Direktur Riset The IRIAN INSTITUTE