BEBERAPA hari lalu saya sudah posting “Ikhlaskan Saja Prabowo”. Dalam tulisan itu saya ingin mengingatkan bahwa perjuangan Prabowo itu akan berakhir pasca pertemuan Ketua Umum Gerindra itu dengan Jokowi di MRT Lebak Bulus kemarin, Sabtu (13/7/2019). Maksudnya akan berpisah dengan kita, pejuang sejati.
Siapa kita? Definisi kita ini harus jelas. Agar kita tidak menjadi penghujat yang sesat. Menghujat Prabowo adalah sebuah kesesatan. Itu menurut saya. Sebab, jika kita menyadari sejak semula, bahwa Prabowo adalah seorang pejuang juga, namun dalam arena yang berbeda, maka kita menghormati Prabowo. Namun, tetap mengetahui perbedaannya dengan kita.
Berbeda dengan Prabowo, kita adalah kaum “underground”, yang menghormati sebuah nilai perjuangan di atas kekuasaan. Nilai perjuangan apa? Pertama, nilai Ketuhanan. Nilai ketuhanan bagi kita adalah memperjuangkan yang Haq (yang benar) & melawan yang Bathil (jahat).
Yang Haq itu adalah sesuatu yang baik, diperoleh secara baik dan dalam silaturahmi yang baik. Yang jahat adalah sesuatu yang buruk, diperoleh secara buruk/curang dan dalam persekongkolan kaum jahat.
Dalam nilai ketuhanan ini kita sebagai sebuah kelompok-kelompok sosial saling berkasih sayang. Tidak egoistik. Menolong yang lebih susah.
Kedua, nilai sosialistik. Sosialistik bukan sosialis. Sosialistik artinya kita lebih mengutamakan pemerataan dibanding pertumbuhan. Semua kekayaan alam ini adalah titipan Allah semata. Dengan kesadaran itu kita harus mengambil manfaat dari alam ini berkesesuaian dengan kebutuhan kita.
Kita harus berhasil membedakan antara ‘need’ dan ‘want’, yang pertama mengajarkan kita pada kesederhanaan. Kesederhanaan mendekatkan kita pada Sang Pencipta.
Sebaliknya, ‘want’ mengantarkan kita pada ketiadaan batas dalam mengejar sesuatu. Hal itu mendorong kita pada keserakahan. Keserakahan mendorong kita pada Iblis.
Ketiga, adalah harga diri. Harga diri adalah sebuah nilai yang menempatkan kita sebagai subjek kehidupan. Dengan posisi subjek, maka manusia tidak tunduk pada manusia lain, sukarela maupun terpaksa. Ketundukan kita hanyalah pada kesepakatan kelompok yang dibimbing nilai-nilai yang berketuhanan.
Harga diri yang mulia akan mendorong sikap kedaulatan dan kemandirian dalam kehidupan sosial. Dalam skala negara, kita tidak akan tunduk pada kemauan asing, meski bom dan senjata di arahkan kepada kepala-kepal kita.
Keempat, kerja keras. Nilai ini mengajarkan kita untuk berusaha tanpa tergantung belas kasih negara. Selama lima tahun ini kita sudah memperlihatkan hidup mencari makan di luar proyek-proyek negara. Hal ini bisa terjadi karena kita terbiasa kerja keras di luar sistem kekuasaan.
Nilai ini adalah nilai mulia, khususnya bagi kaum saudagar dan sektor informal/umkm. Tidak menjadi pengemis untuk kebutuhan hidupnya.
Kelima, adalah bersyukur. Kita adalah orang-orang yang suka mengucapkan syukur (Alhamdulillah atau Puji Tuhan), atas apapun pencapaian kita. Dengan rasa syukur, kita menjadi manusia yang kokoh dan tidak cengeng menerpai badai kehidupan.
Apa bedanya dengan Prabowo?
Dengan pembahasan saya yang lalu, Prabowo bukanlah tipe orang yang mempertahankan nilai. Dia adalah tipe yang membutuhkan kekuasaan untuk menjalankan sebuah nilai. Jika dia berhadapan dengan Jokowi yang lebih kuat darinya, lebih kuasa darinya, maka dia akan menerima nilai2 yang diinginkan Jokowi.
Kontestasi yang dilakukan Prabowo selama berkali-kali untuk berkuasa, adalah kegigihan Prabowo untuk bisa menjalankan nilai-nilai. Jika tidak berkuasa, maka nilai-nilai itu sirna.
Bagimana kita? Kita adalah kaum “underground”, yang konservatif. Kita memaknai nilai sebagaimana para nabi memaknainya, sebagaimana para ulama, para syuhada, para pejuang kemerdekaan dan lain-lain. Dan ketika kita tidak berkuasa atau tidak mempunyai akses pada kekuasaan, nilai-nilai itu tetap kita pelihara, kita jalankan dan kita sebarkan dalam kelompok masyarakat.
‘What is to be done?’
Setelah Prabowo berpisah dengan kita, ketika dia mengakui kepemimpinan Jokowi, dan akan membantu Jokowi, yang kita masih anggap diperoleh secara curang, sebagaimana Prof Din Syamsudin katakan, kita akui secara hukum, namun kita tolak secara moral, kita harus berbenah diri.
Hilangkan perasaan berduka. Kita harus berbahagia pernah memuja Prabowo. Tidak ada salahnya. Hanya fasenya atau babakan panggungnya sudah selesai. Ada masa pertemuan, ada pula masa perpisahan.
Belajar politik. Selama 5 tahun ini kita melihat spirit perjuangan #02, khususnya emak-emak, dalam memperjuangkan nilai begitu spektakuler. Ini tidak bisa segera bertransformasi menjadi kesadaran kelompok politik, jika tidak belajar politik secara benar. Politik artinya mempelajari value dari society kita, value dari cita-cita yang kita perjuangan, resiko perjuangan, strategy perjuangan dan lain-lain.
Bangun ormas atau partai. Kekuatan emak-emak dan #212 yang tidak terafiliasi partai sejatinya melebihi 50 juta jiwa. Terdiri dari kaum ‘urban middle class’, kaum miskin perkotaan dan kaum sub-urban. Kaum ini bukanlah kelompok-kelompok Islam radikal, melainkan di antaranya Islam militan, artinya bangga dengan identitasnya. Kaum ini juga mengakomodir kelompok sosial non muslim, yang dalam sejarahnya bisa saling mengerti tentang nilai-nilai bersama yang bisa tersatukan.
Pentingnya ormas atau partai adalah untuk menjadikan nilai-nilai itu semakin terjaga, tersalurkan dan jika dengan partai bisa diperjuangkan dalam bentuk UU.
Tidak ada waktu untuk menangis melihat Prabowo mendukung Jokowi. Siang akan berganti malam, pagi akan menjadi sore, terik akan berubah awan, dan seterusnya. Tugas kita ke depan adalah berbenah diri, menjadikan kekuatan potensial yang terhimpun selama ini, menjadi kekuatan sejati untuk perubahan bangsa yang haqiqi.
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle