ZAMRUD khatulistiwa adalah julukan yang diberikan oleh dunia internasional kepada Indonesia. Sebuah negara di kawasan Asia Tenggara yang diberikan berbagai macam potensi alam yang tidak dimiliki oleh negara lain.
Bahwa tepat tanggal 17 Agustus 2016, Indonesia berusia 71 tahun (17 Agustus 1945-17 Agustus 2016), sejak diproklamirkan kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah di bumi pertiwi.
Mensyukuri kemerdekaan formil yang kita raih, merupakan sesuatu yang patut dilakukan. Namun melakukan introspeksi yang mendalam untuk melihat sejauh mana cita-cita kemerdekaan telah kita capai, tidak boleh diabaikan.Â
Karena kemerdekaan Indonesia hanyalah suatu jembatan saja, dan bukan berarti ketika bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya bangsa Indonesia telah lepas seutuhnya dari cengkaram kolonialisme dan imperiaslime.Â
Artinya, kemerdekaan itu bukanlah akhir dari perjuangan. Kemerdekaan bangsa Indonesia seharusnya menjadi awal perjuangan menuju Indonesia yang bebas dari cengkraman kolonialisme dan imperialisme.
Bagaimana tidak, jika dahulu untuk mendominasi suatu negara hanya mungkin dilakukan oleh negara, kini bisa kita saksikan perusahan-perusahaan multinasional menancapkan kakinya dan menjalankan skema kelompok kolonialis dan imperialis modern dalam menghisap potensi alam dan merebut kedaulatan bangsa Indonesia.
Dominasi asing hari ini sudah sangat menggurita di Indonesia, seperti pada sektor perekonomian, media, telekomunikasi, pemerintahan, energi dan sumber daya mineral. Dengan dominasi asing tersebut membuat negara kita tersandera oleh kepentingan pihak asing dan akhirnya kita menjadi bangsa yang bergantung terhadap pihak asing.
Dengan julukan sebagai zamrud khatulistiwa sebenarnya Indonesia mempunyai potensi kekayaan alam, baik itu nabati atau hayati yang begitu luar biasa dahsyatnya. Dan seharusnya bisa menjadi sebuah bangsa yang mandiri dari segala aspek sendi-sendi kehidupan terutama aspek perekonomian.
‎
Namun realitasnya, meskipun Indonesia kaya akan potensi alam dan potensi manusianya tetap saja Indonesia masih ketergantungan akan produk-produk impor. ‎
Terbukti dari kebutuhan pangan pokok saja Indonesia harus impor dari negara lain dengan volume impor yang cukup tinggi, seperti komoditas beras 239,31 juta kg, jagung 1,29 milyar kg, kedelai 826,33 juta kg, gula tebu 1,85 milyar kg, daging ayam 826,33 juta kg, garam 923,57 juta kg , bawang merah 63,17 juta kg, bawang putih 187,86 juta kg, cabe 8,79 kg, kentang 21,65 juta kg dan komoditas yang lainnya.
Selain dominasi asing begitu kuat dalam sektor bahan pangan pokok, pihak asing pun sangat menguasai dalam sektor perbankan dan investasi PMA, per tahun 2015 sekurang-kurangnya 50% lebih saham perbankan nasional dan 75,39% aset dan investasi kita telah dikuasai oleh pihak asing.Â
Secara perlahan dominasi asing itu tiap tahun semakin meningkat. Serupa pada sektor pangan dan perbankan, dominasi asing sudah sangat meluas, menguat dan tersebar pada sektor migas dan sumber daya mineral.Â
Menurut data dari Dirjen Migas pada tahun 2011 data menunjukan di sektor perminyakan, penghasil minyal utama di Indonesia didominasi oleh asing. Diantaranya Chevron 44%, Total E&P 10%, Conoco Philip 8%, Medco 6%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1% dan lainnya 3%.Â
Sedang Pertamina dan mitra yang dianggap mencerminkan penguasaan nasional hanya menguasai 16% saja dan dalam sektor pertambangan lebih dari 70% dikuasai oleh pihak asing.Â
Dominasi tidak berhenti pada sektor perekonomian dan potensi kekayaan alam saya. Dalam sektor telekomunikasi pun asing sudah masuk dan mengendalikan sektor tersebut. Terbukti dengan sektor telekomunikasi pun sudah dikuasai oleh pihak asing sekitar 70%.
Memang zaman sudah berubah. Arus ekonomi liberal dan pasar bebas memaklumkan sistem penanaman modal dan investasi di mana saja, di negara mana saja tanpa hambatan (globalisasi), sejauh negara memberlakukan sistem ekonomi liberal dan bebas sehingga privatisasi oleh perusahaan asing menjadi hal yang normal.Â
Namun, konsitusi negara kita Indonesia termaktub dalam UUD 1945 Pasal 33 sebenarnya secara jelas dan tegas menentang sistem ekonomi liberal yang sedang menguasai jantung perekonomian Indonesia.
Perlu kita cermati dan pahami bersama bahwa kaum kolonialis dan imperialis guna mengendalikan suatu negara  tidak selalu melalui proses peperangan konvensional yang memerlukan kekuatan militer.Â
Bahwa konsep peperangan hari ini sudah berkembang dari konvensional menuju peperangan asimetris yang mempunyai spektrum perang yang lebih luas daripada perang konvensional.Â
Baik itu peperangan konvensional ataupun asimetris itu hanyalah sebuah metode belaka namun tujuannya adalah sama yakni mempertahankan atau mendapatkan atas kedaulatan sebuah negara.
Terbukti hari ini yang menjadi salah satu faktor utama dari kolonialisme dan imprealisme modern tetap mencengkram kedaulatan Indonesia adalah salah satunya melalui legitimasi produk hukum yang dibuat oleh “kaki tangan” mereka di Indonesia yang menjabat dalam struktur pemerintahan.Â
Soekarno pun pernah berpesan kepada kita semua, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuangmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.Â
Terbukti mulai dari tahun 1967 dengan pemerintah saat itu mengesahkan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) yang pertama di Indonesia dan hingga hari ini banyak sekali produk hukum yang dibuat oleh pemerintah yang sangat pro atas kepentingan asing agar tetap dapat mengeksploitasi seluruh potensi yang ada di Indonesia.
Tentu ketika pemerintah yang seyogyanya diamanahkan dalam konstitusi negara kita untuk dapat melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia ternyata realitasnya banyak sekali oknum pejabat pemerintah yang menjadi “kaki tangan” asing dalam memuluskan misinya dalam menguasai Indonesia kita tidak boleh diam saja.
Bahwa kedaulatan penuh atas kepemilikan potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia adalah rakyat Indonesia sendiri bukan rakyat Indonesia yang menjadi “kaki tangan” asing ataupun pihak asing seperti yang terjadi hari ini.
Kemerdekaan yang hakiki adalah ketika Indonesia terbebas dari cengkraman kolonialisme dan imprealisme modern sehingga Indonesia benar-benar berdaulat atas kepemilikan potensi alam di negeri ini.‎
Oleh Andre Lukman, Aktivis Bandung, Alumni Unikom‎
‎