KedaiPena.Com – Penculikan dua nelayan Indonesia di Sabah, Malaysia yang diduga dilakukan oleh kelompok militan Filipina, Abu Sayyaf pada pekan lalu patut disesali.Â
Pasalnya, Memorandum of Understanding (MoU) Trilateral tiga negara, yakni, Indonesia, Filipina, dan Malaysia sudah berjalan. Â Â
“Sesungguhnya pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina sudah melaksanakan MoU Trilateral dalam rangka menyelamatkan dan mengamankan wilayah laut masing-masing melalui kerja sama. Tapi, penyaderaan kok masih terulang?” ujar Wakil Ketua Komisi I DPR-RI, Tubagus Hasanuddin di Jakarta, Selasa (22/11).
Menurut Hasanuddin, MoU Trilateral yang telah disepakati oleh menteri pertahanan di tiga negara tersebut seharusnya dibahas lebih lanjut di antara para panglima angkatan bersenjata masing-masing negara, termasuk Panglima TNI.Â
“Dengan MoU itu, ketiga panglima angkatan bersenjata dari tiga negara tersebut selanjutnya dibuat konsep joint operation atau konsep joint patrol,” tutur mantan Sekretaris Militer itu.Â
Konsep joint operation, kata Hasanuddin, menjadi hal yang sangat penting. Karena, bila Indonesia saja yang serius dalam mengamankan wilayah-wilayah rawan tanpa disertai keseriusan dari Malaysia dan Filipina, maka perjanjian trilateral menjadi sia-sia.Â
“Konsep joint patrol dan joint operation berdasarkan evaluasi MoU Trilateral,” tukas Hasanuddin. ‎
Selain itu, sambung Hasanuddin, ketiga negara juga harus aktif dalam bertukar informasi intelijen terkait pergerakan kelompok bersenjata.Â
“Tiga negara harus aktif bertukar informasi intelijen terhadap pergerakan kelompok militan Abu Sayyaf. Ini menjadi penting untuk pemetaan pergerakan mereka (Abu Sayyaf),” tandas Hasanuddin.
Setelah pengamanan laut semakin diperkuat, Hasanuddin mengingatkan agar kapal-kapal komersil juga tetap wajib melaporkan ke Angkatan Laut bila hendak berlayar.Â
“Bagi kapal-kapal bisnis yang melintas wilayah juga tetap diminta kehati-kehatian, setidaknya melapor ke Angkatan Laut,” pungkas Hasanuddin. Â
Sekadar diketahui, perjanjian trilateral Indonesia, Malaysia, dan Filipina sebenarnya sudah terbentuk saat pertemuan di Astana Negara Gedung Agung Yogyakarta, Kamis (5/5). Hasilnya, ada empat kesepakatan tentang upaya mengamankan kawasan perairan di pebatasan tiga negara.
Empat poin yang telah disepakati dari perjanjian trilateral itu adalah, pertama, Â kesepakatan melakukan patroli laut bersama yang terkoordinasi. Kedua, memberikan bantuan segera jika ada warga atau kapal yang mengalami kesulitan di perairan itu.Â
Ketiga, membentuk gugus tugas diantara ketiga negara untuk berbagi informasi intelejen guna menanggapi secara cepat adanya ancaman keamanan. Dan keempat, menyepakati pembentukan hotline informasi untuk merespon situasi darurat.Â
Bahkan, kelanjutan dari perjanjian trilateral itu juga kembali dibahas oleh menteri pertahanan di tiga negara dalam forum pertemuan The 3rd Trilateral Defence Ministers’ Meeting pada Agustus 2016.Â
Namun, penculikan terhadap nelayan Indonesia di perairan Malaysia dan Filipina masih kerap terjadi. Belakangan, dua nelayan Indonesia menjadi korban penculikan yang diduga dilakukan kelompok Abu Sayyaf pada Sabtu, 19 November 2016. Nelayan itu bekerja secara sah di kapal penangkap ikan berbendera Malaysia.
Penculikan itu terjadi di perairan Lahad Datu, Sabah, Malaysia, sekitar pukul 19.20 waktu setempat. Kementerian Luar Negeri menerima informasi dari Asosiasi Pemilik Kapal sekitar 1 jam setelah peristiwa tersebut.
Kedua WNI ini adalah kapten kapal asal Sulawesi Selatan, Saparuddin bin Koni, 43 tahun, dan wakil kapten asal Sulawesi Selatan bernama Sawal bin Maryam (36).Â
Laporan: Reddy Tendean
‎