KedaiPena.Com – Wilayah Prefektur Kumamoto, Pulau Kyushu, Jepang Selatan kembali diguncang gempa susulan yang lebih besar magnitude-nya. Gempa 7,3 SR terjadi di Kumamoto pada Sabtu pukul 01.25 waktu setempat atau Jumat (15/4) pukul 23.25 WIB.
Badan Meteorologi Jepang merevisi kekuatan gempad ari 7,1 SR menjadi 7,3 SR. Sebelumnya di daerah yang sama, yaitu di Prefektur Kumamoto dengan kekuatan 6,4 SR pada Kamis (14/4) pukul 21.27 waktu setempat atau 20.03 Wib. Pusat gempa di daratan dengan kedalaman yang dangkal yaitu 10 km pada permukiman yang cukup padat penduduknya.
Gempa 6,4 SR adalah gempa awal (foreshock) yang kemungkinan memicu gempa berikutnya yang lebih besar yaitu gempa 7,3 SR. Kedua gempa tersebut memiliki mekanisme yang sama yaitu sesar geser mendatar. Pada saat gempa pertama, 6,4 SR, gempa dirasakan berkisar VI-VII MMI atau sangat keras. Kemudian gempa kedua 7,3 SR memiliki intensitas gempa dirasakan hingga VIII-IX MMI atau getaran yang hebat sehingga sangat merusak.
Hingga saat ini Pemerintah Jepang masih melakukan penanganan darurat, khususnya pencarian dan penyelamatan korban. Data sementara dampak gempa, 13 orang tewas, puluhan orang masih tertimbun di reruntuhan bangunan dan lebih 44 ribu orang harus dievakuasi pada Sabtu (16/4) pukul 10.00 Wib.
Peringatan dini tsunami telah dicabut, namun sebagian masyarakat masih belum berani ke daerah pantai. Personil militer ditambah hingga 20.000 personil tentara untuk melakukan penanganan darurat. Logistik dan peralatan juga ditambah. Meski peringatan tsunami telah dicabut, setelah sempat diberlakukan, warga di tepi pantai tetap diminta waspada.
Kepala BNPB, Willem Rampangilei, telah memerintahkan Tim Reaksi Cepat BNPB untuk terus memantau perkembangan dampak gempa Jepang. BNPB siap jika sewaktu-waktu diminta untuk mengirimkan bantuan ke Jepang.
Satu hal yang menarik untuk menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia adalah tingginya kesiapsiagaan pemerintah dan masyarakat Jepang dalam menghadapi gempa.
Dengan diguncang gempa 7,3 SR seperti itu jumlah korban relatif sedikit. Saat gempa di Yogyakarta dengan kekuatan 5,9 SR pada 27/5/2006 jumlah korban mencapai lebih dari 6 ribu orang tewas. Begitu juga gempa 7,6 SR di Sumatera Barat pada 30/9/2009, menyebabkan lebih dari 1.100 jiwa meninggal.
Pemerintah dan masyarakat Jepang memang telah memiliki budaya siap menghadapi gempa besar. Perilaku sehari-hari selalu dikaitkan dengan ancaman yang ada. Sistem peringatan dini bencana sangat maju. Selain itu, pemerintahan yang baik dan penegakan hukum juga jadi faktor krusial yang menyelamatkan jiwa masyarakat Jepang. Semua bangunan public seperti sekolah, rumah sakit, perkantoran dan lainnya dibangun dengan standar yang ketat dan kuat.
Masyarakat Jepang rajin melakukan pelatihan bencana. Di dekat pintu, mereka mempersiapkan ransel yang berisi air botolan, makanan kering atau makanan kalengan, obat-obatan P3K, uang tunai, pakaian kering, radio, senter, dan beberapa baterai pengganti. Karena sering latihan masyarakat Jepang tahu mereka harus melindungi kepala dengan meja yang kuat, agar tidak kejatuhan benda-benda keras. Lalu, di bawah lindungan meja, itu, dengan cepat mereka mematikan aliran gas, dan memastikan pintu tetap terbuka untuk mengurangi resiko terjebak di antara reruntuhan.
Pelatihan menghadapi bencana dilakukan secara rutin, bahkan dijadikan mata pelajaran khusus di sekolah-sekolah dasar. Alokasi anggaran pemerintah setiap tahun dialokasikan 5 persen dari APBN mereka wajib untuk antisipasi bencana. Bandingkan dengan di Indonesia yang masih sangat minim. Alokasi anggaran untuk BNPB pada tahun 2016, hanya Rp 1,2 trilyun dari total APBN Rp 2.095 trilyun. Begitu juga di BPBD yang rata-rata alokasinya hanya memperoleh 0,02 persen dari total APBD.
Pemerintah Jepang selalu menginvestasikan kekayaannya untuk membangun gedung dan infrastruktur tahan gempa. Mahal memang, tapi kebijakan ini terbukti telah menyelamatkan ribuan jiwa. Pemerintah daerah dilatih secara khusus untuk mengumumkan terjadinya bencana dan melakukan evakuasi secara cepat. Mereka juga dilatih untuk mendistribusikan bantuan logistik dan peralatan di tempat-tempat penampungan.
Tentu hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi Bangsa Indonesia yang sama-sama rawan gempabumi. Bahkan di Indonesia jenis bencananya lebih banyak dan lebih kompleks permasalahannya. Kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Padang dan lainnya memiliki kondisi geologi atau kotanya dibangun di batuan yang rentan menerima gempa sehingga dapat meninbulkan guncangan yang keras. Hendaknya kita selalu meningkatkan kesiapsiagaan untuk mengurangi jumlah korban jiwa.
(Prw/Oskar)