KedaiPena.Com – Setelah membangun selama 50 tahun PDB per kapita Indonesia baru mencapai $3800. Padahal beberapa negara lain di Asia yang dulu di tahun 1960 masih sama-sama miskin, sekarang maju pesat. Seperti Malaysia PDB per kapitanya tiga kali lipat kita, Taiwan enam kali lipat kita, Korea Selatan tujuh kali lipat kita.
“Bahkan Singapura 14 kali lipat kita. Cina yang pembangunannya sangat terlambat dibandingkan kita, baru membangun diawal tahun 80-an dan penduduknya 1,3 miliar orang, mereka maju dengan pesat sekali. Sekarang PDB per kapitanya mencapai 2 kali kita. Teknologinya sangat maju antara lain telah mampu membuat dan mengekspor kereta api cepat,” kata analis kebijakan publik, Abdulrachim. K kepada KedaiPena.Com, Selasa (13/3/2018).
Fakta yang tidak bisa dipungkiri adalah selama 32 tahun Indonesia berada di bawah kekuasaan Orde Baru yang sangat kuat dengan tim ekonomi yang solid dibawah pimpinan Widjojo Nitisastro. Tim ini mengendalikan sepenuhnya ekonomi Indonesia.
“Widjojo sering dipuja-puji oleh berbagai kalangan sebagai ekonom handal tetapi kenyataannya telah membawa ekonomi kita tertinggal dengan negara-negara tetangga. Bahkan di akhir masa kekuasaan Orde Baru, ekonomi kita jatuh dalam krisis dan dijerumuskan lebih dalam lagi oleh IMF. Sampai-sampai pertumbuhan ekonomi kita menjadi minus 13 persen di tahun 1998. Sementara, Malaysia yang menolak campur tangan IMF malah dapat keluar dari krisis ekonomi dan menjadi eonomi yang stabil dan lebih maju dari kita,” papar aktivis 77/78 ini.
Ternyata puja-puji bagi Widjojo cs itu tidak sesuai dengan kenyataan prestasinya, melainkan hanya rekayasa citra. Banyak ekonom dikelompoknya serta anak cucu muridnya yang berdalih apabila Indonesia dibandingkan dengan Singapura yang ekonominya mapan.
“Mereka berdalih, pertumbuhan ekonomi Singapura amat pesat karena negara itu kecil, dengan penduduknya yang sedikit. Sehingga tidak bisa dibandingkan dengan negara kita yang sangat besar dengan penduduk yang sangat besar jumlahnya. Istilahnya tidak ‘apple to apple’,” kecewa dia.
Padahal justru Singapura yang sangat kecil itu, yang luasnya hanya 700 km persegi atau lebih kecil dari luas Kabupaten Bekasi itu tidak punya apa-apa. Tidak punya sumber daya alam seperti Indonesia. Singapura tidak punya tambang emas, tembaga, nikel, alumunium, bauksit, timah, perak dan lain-lain.
“Singapura juga tidak ada kebun karet, teh, kopi, kopra dan sebagainya. Mau menanam kelapa sawit tidak bisa karena tidak ada tanahnya. Begitupun kalau mau menanam padi, jagung, tebu. Atau bahkan ternak ayam, kambing dan lain-lain. Semua kebutuhan makanan harus impor. Biaya hidupnya tinggi,” Mimin, sapaannya melanjutkan.
Namun para pemimpin dan ekonom Singapura memutar otak, mengolah kecerdasannya dan bekerja keras untuk mengubah kehidupan bangsanya yang di tahun 1960 masih sama-sama miskin dengan Indonesia. Mereka berpikir kalau tanah yang sangat sempit itu digunakan untuk mengembangkan perekonomian tradisional, maka tanahnya akan habis dan perekonomiannya tidak akan bisa menghidupi rakyatnya.
“Makanya mereka meninggalkan pertanian, tidak menyentuh perkebunan. Melainkan mengembangkan pelabuhannya menjadi sangat modern sehingga bisa menjadi pelabuhan samudera yang menjadi pusat persinggahan dan transit ekspor impor kapal dari Asia Tenggara menuju Eropa dan sebaliknya,” jelas dia.
Pelabuhan yang sangat besar dan modern itu selain bisa bongkar muat dengan cepat juga diperlengkapi dengan semua kebutuhan perlengkapan dan perbengkelan perkapalan. Termasuk ketersediaan ‘spare part’ dan industri perlengkapannya. Mereka juga mengembangkan pelabuhan udara yang sangat besar dan modern yang bisa menampung transit pesawat-pesawat udara yang besar untuk transit jarak jauh ke Eropa dan Amerika dengan pelayanan yang cepat, efisien dan nyaman.
“Mereka juga mengembangkan industri kilang minyak, mengolah minyak mentah menjadi minyak yang siap pakai. Sehingga sampai saat ini Indonesia setiap hari mengolah minyak mentahnya lebih dari 500 ribu barrel ke sana dan mengimpornya kembali. Hasilnya dalam bentuk minyak yang siap dikonsumsi dengan harga yang tinggi. Sunggu suatu pemborosan yang luar biasa bagi kita dan suatu kebodohan ekonomi yang luar biasa,” sesal Mimin.
Selain itu Singapura membangun dirinya sebagai pusat keuangan dan bisnis Asia Tenggara. Selain membangun gedung-gedung dan fasilitas pendukung lainnya, Singapura juga membangun hukum, regulasi yang kredibel, etika bisnis, proses perijinan yang cepat, dapat dipercaya dan menyelesaikan perkara sengketa dengan cepat dan adil.
Dan yang paling penting adalah membersihkan dirinya dari korupsi baik di dalam birokrasinya maupun di dunia swasta. Mereka juga menjadikan dirinya pusat pariwisata di Asia Tenggara. Beraneka ragam daya tariknya, dari Universal Studio, Formula 1, Singapore Air Show. Acara kelas internasional ini rutin diadakan dan berdampak luas pada kunjungan wisatawan mancanegara.
“Mereka juga membangun rumah sakit yang modern dan sangat lengkap, sehingga masyarakat kelas atas di seluruh Asia Tenggara berobat ke Singapura. Akhirnya dengan segala upayanya itu ekonominya tumbuh rata-rata delapan persen per tahun selama 39 tahun dari 1960-1999. Oleh karena itu Singapura sekarang telah menjadi negara maju dengan PDB per kapita mencapai $52.960 jauh meninggalkan Indonesia yang tanahnya sangat luas, SDA sangat kaya, punya hutan, laut dan sebagainya. Namun setelah membangun 50 tahun dan disesatkan dengan puja-puji dari IMF dan World Bank, sekarang PDB per kapitanya hanya $3800 hanya 1/14 Singapura,” pungkas Mimin.
Laporan: Muhammad Ibnu Abbas