Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
1 April 2024 (bukan April Mop), saya hadir di Mahkamah Konstitusi dalam kapasitas sebagai Ahli Ekonomi, terkait sengketa Perselihan Hasil Pemilihan Umum 2024.
Saya menyampaikan pendapat dalam bentuk makalah dengan judul “Perpanjangan Pemberian Bantuan Sosial Sampai Juni 2024, Diputus Secara Sepihak oleh Presiden Joko Widodo Tanpa Persetujuan DPR, Melanggar Konstitusi dan Sejumlah Undang-Undang”.
Di dalam makalah dijelaskan secara rinci alasan pelanggaran, undang-undang apa yang dilanggar, pasal berapa, dan konsekuensi hukumnya.
Selesai menyampaikan pendapat, masuk sesi tanya-jawab. Dua lawyer ternama, Yusril dan Hotman Paris, mengajukan pertanyaan.
Tetapi, sangat mengejutkan. Pertanyaan dari keduanya tidak menyentuh sama sekali substansi materi yang saya sampaikan dalam persidangan. Tersirat, mereka tidak membantah pendapat yang saya sampaikan. Bahwa Presiden Joko Widodo melanggar konstitusi dan sejumlah undang-undang terkait pemberian Bantuan Sosial sepihak, sampai Juni 2024, tanpa persetujuan DPR.
Yusril malah mengajukan pertanyaan yang bisa merendahkan profesinya sebagai Ahli Hukum.
Yusril minta penjelasan dari Tim Hukum yang menghadirkan saya, apakah saya Ahli Ekonomi atau Ahli Hukum. Atau bahkan Ahli Nujum?
Yusril: “saya sempat bingung, apakah saudara Ahli adalah Ahli Ekonomi, Ahli Hukum, atau Ahli Nujum.”
Pertanyaan dan pernyataan Yusril menunjukkan betapa wawasan Yusril cukup sempit. Yusril tidak bisa membedakan Ahli Ekonomi atau Ahli Hukum!
Karena tidak menyentuh substansi materi yang saya sampaikan, bahwa perpanjangan Bantuan Sosial oleh Presiden Joko Widodo sampai Juni 2024 melanggar Konstitusi dan sejumlah UU, maka saya memilih tidak menjawab pertanyaan yang tidak bermutu tersebut, dan terkesan untuk pengalihan isu belaka.
Saya memilih tidak menjawab agar konsentrasi para hakim Mahkamah Konstitusi tidak teralihkan, dan tetap fokus pada materi yang saya sampaikan, bahwa perpanjangan Bantuan Sosial melanggar Konstitusi dan UU.
Tetapi, pertanyaan Yusril (dan Hotman) perlu ditanggapi di luar persidangan Mahkamah Konstitusi, antara lain melalui tulisan ini.
Apakah saya seorang Ahli Ekonomi, Ahli Hukum, atau Ahli Nujum? Yang terakhir kita abaikan saja karena tidak berharga untuk dibahas lebih lanjut. Bagaimana mungkin, seorang ahli hukum tata negara ternama mengajukan pertanyaan absurd di Mahkamah Konstitusi yang terhormat, yang jauh lebih buruk dari diskusi di warung kopi? Untuk itu, diabaikan saja.
Kembali ke pertanyaan apakah saya Ahli Ekonomi atau Ahli Hukum? Penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, seorang Ahli Ekonomi, atau ekonom, tentu saja wajib mengetahui dan memahami peraturan perundang-undangan terkait bidang ekonomi secara luas, antara lain bidang fiskal, moneter, perindustrian, persaingan usaha dan anti-monopoli, BUMN, dan bidang ekonomi lainnya.
Bagaimana seorang ekonom bisa mengambil atau mengkritisi kebijakan ekonomi kalau tidak paham dengan undang-undang terkait ekonomi?
Bagaimana seorang ekonom bisa mengambil atau mengkritisi kebijakan fiskal untuk mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, redistribusi pendapatan, kalau tidak paham dengan UU Keuangan Negara, UU APBN, atau UU Perpajakan? Bagaimana seorang ekonom dapat mengambil atau mengkritisi kebijakan moneter kalau tidak paham dengan UU tentang Bank Indonesia yang mengatur permasalahan moneter, termasuk inflasi?
Paham terhadap peraturan perundang-undangan tidak serta merta membuat seseorang menjadi Ahli Hukum.
Semoga Yusril paham.
Kedua, untuk mengetahui apakah sebuah kebijakan melanggar undang-undang, juga tidak perlu harus menjadi Ahli Hukum.
Karena, pasal di dalam UU ditulis dan diatur secara jelas, sehingga hanya ada satu interpretasi.
Misalnya, Pasal 23 UUD menyatakan bahwa penyusunan atau rancangan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanjan Negara) wajib dibahas bersama DPR, wajib mendapat persetujuan DPR, dan wajib ditetapkan dengan undang-undang tentang APBN.
Kalau kemudian ada pengeluaran (belanja) negara yang ditetapkan oleh Presiden atau Pemerintah secara sepihak, tanpa pembahasan bersama DPR, dan oleh karena itu tidak mendapat persetujuan DPR, dan oleh karena itu tidak ditetapkan dengan UU, maka tidak perlu menjadi Ahli Hukum untuk menyatakan pendapat bahwa kebijakan Presiden tersebut melanggar UUD, melanggar konstitusi.
Ini yang terjadi dengan perpanjangan Bantuan Sosial yang seharusnya berakhir November 2023 kemudian diperpanjang sampai Juni 2024 dalam rapat kabinet atau rapat terbatas 6 November 2023.
Keputusan dalam rapat terbatas berarti keputusan sepihak tanpa meIibatkan DPR, tanpa pembahasan bersama DPR, tanpa persetujuan DPR, dan tidak ditetapkan dengan UU.
Terakhir, konsekuensi terhadap pelanggaran pasal tertentu di dalam Undang-Undang juga diatur secara eksplisit di dalam UU.
Misalnya, Pasal 34 ayat (1) UU Keuangan Negara berbunyi: Menteri/Pimpinan lembaga … yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang APBN … diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Sekali lagi, tidak perlu menjadi Ahli Hukum untuk menyatakan pendapat bahwa mengubah APBN tanpa persetujuan DPR merupakan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam UU APBN, sehingga diancam pidana penjara dan denda, seperti dimaksud pasal 34 tersebut di atas.
Demikian jawaban terhadap pertanyaan Yusril yang tidak saya jawab di dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Semoga bermanfaat.
[***]