BEBERAPA waktu menjelang perayaan 17 Agustus tahun 1946 Jenderal Sudirman yang tak henti-hentinya masuk keluar hutan untuk bergerilya tak punya baju bagus untuk upacara, Sukarno yang memperlakukan Sudirman sudah seperti saudara kandung, mengirimkan sepucuk surat.
“Saudaraku. Hari Nasional 17 Agustus sudah mendekat. Saya kira saudara tak mempunyai uniform yang bagus. Maka bersama ini saya kirim bahan untuk uniform baru. Haraplah diterima,
sebagai tanda persaudaraan kita”.
Sukarno kerap berkirim surat kepada Sudirman. Mereka ibarat “kawan seiring berbeda jalan” dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Yang satu menempuh jalan politik. Satunya lagi cara militer. Namun untuk mencapai tujuan yang sama.
Di masa revolusi fisik tokoh-tokoh sipil dan militer berbaur jadi satu, sehingga ada semacam konsensus akan tetap saling menjaga apabila diantaranya ditawan musuh atau gugur, sehingga perjuangan tetap dapat dilanjutkan.
Hubungan Sukarno-Sudirman juga mengalami pasang-surut yang kadang diwarnai ketegangan.
Tatkala Agresi Kedua Belanda, 1948, terjadi perbedaan pandangan di antara mereka, yang berakhir dengan rekonsiliasi, dan sebagai pesan kepada dunia internasional bahwa Republik masih berdaulat, foto berangkulan Sukarno-Sudirman yang dibuat fotografer Frans Mendur jadi bukti solidnya kekuatan politik & militer RI dalam mempertahankan kemerdekaan.
Tradisi persahabatan seperti itu dalam konteks yang berbeda masih dapat kita temukan antara Dr Rizal Ramli dengan Jenderal Djoko Santoso yang pada Minggu 10 Mei kemarin berpulang ke Rahmatullah.
Rizal Ramli dan Jenderal Djoko Santoso adalah sahabat lama. Bahkan jauh sebelum sang jenderal menjadi Panglima TNI di era SBY. Rizal dan Joko sudah lebih dulu saling mengenal.
Rizal Ramli adalah penasehat ekonomi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia)/Fraksi ABRI DPR RI di awal tahun ‘90-an.
Sebagai ekonom yang berani dan memihak rakyat Rizal Ramli menjalani pergaulan yang sangat luas dengan para jenderal di era itu.
Bukan berlebihan apabila banyak perwira menengah dan perwira tinggi pada masa itu yang menempatkan Rizal Ramli sebagai guru, dalam pemahaman terhadap persoalan-persoalan ekonomi.
Jenderal Djoko Santoso dan Rizal Ramli kedua-duanya adalah anak guru. Yang sejak kecil bukan hanya ditempa oleh kedisiplinan dalam menekuni pelajaran di sekolah, tetapi dari orangtua mereka juga disemaikan benih-benih kecintaan terhadap tanah air dan bangsa serta sifat-sifat patriotik.
Jenderal Djoko Santoso yang dikenal sebagai Jenderal Tempur memiliki karir yang cemerlang, cerdas, halus budi, dan bersahaja.
Rizal dan Djoko memiliki pertautan hati yang sama mengenai nasib masa depan bangsa dan negeri ini. Keduanya menaruh kepedulian yang tinggi dan sama-sama menginginkan Indonesia lebih baik dari hari ini.
Barangkali pula sudah kehendak jalannya takdir. Beberapa waktu sebelum wafat sang jenderal bertemu Rizal Ramli.
Jenderal Djoko Santoso seperti berwasiat dengan mengatakan:
“Saya tidak punya ambisi pribadi lagi. Saya hanya ingin melihat Indonesia hebat dan makmur. Tolong Mas Rizal. Saya tahu Mas Rizal sudah berjuang untuk Indonesia sejak dari muda”.
Rizal Ramli sangat terharu. Sang jenderal seperti baru melepas beban dari pikiran dan perasaannya.
Catatan Arief Gunawan, Wartawan Senior