Artikel ini ditulis oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle.
Warung Madura di Bali diminta untuk tutup pada malam hari. Berita ini menjadi topik hangat belakangan ini. Merujuk pemberitaan media, di Klungkung alasannya adalah keluhan pemilik minimarket yang merasa terganggu pendapatannya, sedangkan di Denpasar disebutkan lebih pada alasan penertiban penduduk dan keamanan kota. Aturan kota memang tidak menyentuh warung informal, sehingga pemerintah kota di Bali sedikit bingung mengimplementasikan kebijakannya itu.
Pemerintah pusat sendiri, kementerian koperasi, semula menyetujui pembatasan operasional warung Madura tersebut, menarik kembali ucapannya setelah banyak kritik. Pemilik warung bersikeras bahwa mereka justru bisa bertahan kalau buka di waktu dinihari. Lalu bagaimana kita melihat ini ke depan?
Pertama, dari kacamata sosiologi dan kebudayaan, pertumbuhan jumlah kelompok enterpreneurship (wirausahawan) di Bali tentu dapat menjadi potensi ketegangan sosial, karena keberhasilan mereka, khususnya dalam jangka panjang, akan menimbulkan kecemburuan di tingkat masyarakat bawah.
Kecemburuan ini dapat bersifat ekonomi karena adanya ketimpangan, namun dapat juga berupa identitas, karena warga Madura merupakan pemeluk agama Islam yang taat. Orang-orang Bali sendiri mayoritas merupakan masyarakat Hindu.
Kedua, dari kacamata industri pariwisata, warung-warung Madura ini mengesankan “kekumuhan” kota, yang mungkin akan mempengaruhi kesuksesan industri pariwisata berskala internasional. Kita ketahui bahwa ditangan Sandiaga Uno, industri pariwisata bergeliat menjadi tulang punggung pendapatan negara. Bali sebagai target destinasi wisatawan asing dan penghasil devisa terus digenjot. Model warung klontong 24 jam tentu dikhawatirkan sebagai sumber kerawanan pula.
Kedua alasan di atas adalah sebuah cara pandang negatif, yang pastinya menjadi alasan pemerintah berusaha untuk membatasi pertumbuhan dan kesuksesan warung Madura tersebut. Apakah kita bisa mempunyai cara pandang lainnya?
Untuk itu kita harus mengetengahkan 3 argumen penting untuk mendorong keberadaan dan kemajuan warung Madura tersebut. Pertama, warung-warung Madura adalah fenomena urban, di mana disetiap kota-kota yang mengalami kemajuan kota dan ekonominya, warga Madura datang untuk berusaha. Hal itu kita lihat di Monas dan Kota Tua di Jakarta, di Malioboro Yogyakarta, toko-toko kayu dan besi bekas di berbagai kota besar, dan lain-lain, bahkan menjadi enterpreneur sukses di Kalimantan Barat beberapa dasawarsa kebelakang.
Hak warganegara mencari nafkah harus dilihat sebagai hak yang dijamin Undang-undang atau bahkan seharusnya negara berterima kasih, sebab sesungguhnya UUD malah mewajibkan negara memberikan pekerjaan layak pada semua warga.
Kedua, enterpreneurship. Sifat kewirausahaan orang-orang Madura, selayaknya juga orang Padang/Minang, merupakan anugrah yang harus disukuri bangsa kita. Kenapa, karena mayoritas bangsa kita mentalnya bukan mental pedagang, melainkan mental pegawai, yang menyebabkan gagalnya kita membangun masyarakat entrepreneur.
Kaum enterpreneur di negara maju umumnya mencapai rerata 12 persen atau lebih sedangkan di Indonesia berkisar 4 persen dari jumlah masyarakatnya. Padahal salah satu syarat untuk menjadi negara maju tersebut, jumlah kaum wirausaha harus cukup besar.
Menciptakan proporsi kaum usahawan tidak bisa diharapkan dari perkumpulan-perkumpulan pengusaha atau UMKM yang muncul karena KKN pada kekuasaan. Banyak anak-anak muda yang mendapatkan stempel pengusaha muda, muncul karena koneksi pada kekuasaan. Orang-orang seperti ini biasanya tidak dapat diandalkan dalam memajukan usaha dan industri secara positif. Karena mental calo.
Dengan demikian, enterpreneur model Madura ini yang perlu diperluas untuk Indonesia mampu mencapai jumlah wirausaha yang dibutuhkan. Upaya Jusuf Kalla beberapa waktu lalu menghidupkan kelompok-kelompok saudagar daerah-daerah, perlu dilihat sebagai kekuatan natural yang perlu dilakukan terus menerus.
Pengalaman saya ketika berpartner dengan orang Madura, misalnya di Pelabuhan Indonesia2, ketika saya Komisaris dan Dirutnya, Abdullah Syaifuddin, sang dirut mampu menaikkan keuntungan Pelindo saat itu dari Rp800 miliar menjadi Rp1,2 Triliun alias penambahan Rp400 miliar dalam tempo setahun. Begitu pula ketika saya sering menemani Cak Fai, pedagang Sate di Yogya, ketua pedagang kaki lima se Indonesia (APKLI) era 90an – 2000an, terjadi kemajuan usaha kaum kaki lima secara drastis, baik dari sisi administrasi usaha, permodalan maupun omset. Jadi, memang orang-orang Madura itu memiliki kelebihan sebagai pebisnis atau menjalankan bisnis.
Oleh karena itu, melihat warung-warung Madura yang berkembang di Bali haruslah melihat mereka sebagai sumberdaya pebisnis yang perlu didukung agar tumbuh berkembang bersama kemajuan Parawisata Bali. Keberanian mereka bekerja siang malam harus disambut pemerintah Bali dan Ok Oc nya Sandiaga Uno dengan melakukan pembinaan pada sisi manajemen, kebersihan dan pembiayaan warung itu agar kompatibel dengan kemajuan kota Bali.
Ketiga, kerjasama bukan permusuhan dengan minimart. Kaum kapitalis yang menguasai supply-chain dan distribusi kebutuhan pokok dan berbagai keperluan rumah tangga sudah selayaknya melihat warung-warung rakyat sebagai bagian kemajuan bersama bangsa. Kita sadar bahwa supermarket dan Minimarket yang dikontrol kalangan taipan selama ini telah mematikan warung-warung lokal. Mereka mampu mengontrol ketersediaan barang, mengontrol harga dan bahkan mengontrol ketersediaan tempat usaha.
Jika pikiran kaum taipan ini adalah “berbagi” bukan monopoli kemajuan bisnis, maka sebuah kerjasama harus dibicarakan dengan warung-warung tersebut, di mana mereka bisa berbagai keuntungan. Pemerintah lokal dapat menjembatani kerjasama tersebut, baik dalam kepentingan pelayanan maupun kedepannya sebagai sumber inkom bagi pemerintah. Sebaliknya, jika minimarket ini tetap ingin menang sendiri dan mematikan warung-warung rakyat, maka sudah selayaknya kita berdiri dibelakang kesuksesan warung-warung Madura tersebut.
Dengan 3 alasan di atas sudah cukup bagi pemerintah di Bali maupun oleh pemerintah pusat bekerja mendukung warung-warung Madura tersebut. Tentu saja pemerintah harus mendukung semua warung-warung Madura yang ada di Jakarta serta kota besar lainnya. Tantangan yang ada harus dianggap sebagai sebuah kesempatan. Pemerintah harus terus membangun totalitas dan proporsi kaum wirausaha di Indonesia, menciptakan kerjasama “bapak angkat-anak angkat” antara minimarket (ritel) modern dengan warung Madura dan mencari tambahan inkom negara (pendapatan daerah) melalui retribusi daerah.
Ancaman ketegangan sosial dan etnis maupun ancaman keamanan dan ketertiban harus diletakkan pada kepentingan yang lebih besar. Bali adalah milik semua. Maju Bali nya, maju Warung Madura nya.
Penutup
Rencana pemerintah di Bali membatasi warung Madura harus dihentikan. Baik karena alasan kecemburuan Minimarket maupun ketertiban kota. Sebaliknya, warung Madura harus dibina dan dikembangkan sebagai bagian dari kewirausahaan nasional. Pemerintah pusat, Sandiaga Uno, dapat membuat desain pembinaan ala Ok Oce pada warung-warung tersebut, sehingga warung-warung itu kompatibel pada industri pariwisata di sana.
Saatnya membela kaum lemah.
[***]