KedaiPena.Com – Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani menyatakan pekerja migran harus dilindungi dari perdagangan manusia, kerja paksa serta pelanggaran perlakuan kekerasan.
Hal tersebut disampaikan oleh Benny sapaanya dalam konferensi pers virtual bersama para pimpinan redaksi media nasional di kantor BP2MI, Jumat, (15/5/2020).
”Pekerja migran adalah warga negara very-very important person (VVIP). PMI (pekerja migran Indonesia) harus dilindungi dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, kekerasan dan perlakuan lain yang melanggar,” ujar Benny dalam keterangan, Sabtu, (16/5/2020).
Menurut Benny, sesuai dengan Undang-undang bahwa bekerja merupakan gak asasi manusia (HAM). Karena itu, negara menjamin hak warga untuk memperoleh pekerjaan yang layak di dalam negeri atau luar negeri.
Selain bekerja di dalam negeri, kata Benny, penempatan pekerja migran merupakan upaya mewujudkan hak tenaga kerja mendapatkan pekerjaan.
Oleh kerena itu, negara wajib membenahi sistem penempatan dan pelindungan secara terpadu, baik oleh pemerintah pusat-daerah dengan mengikutsertakan masyarakat.
”Saat ini tata kelola penanganan pekerja migran memang masih lemah. Kerentanan ini masih menjadi tantangan yang harus segera diperbaiki bersama-sama secara tepat dan cepat. Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2017 telah diamanatkan pelindungan bagi PMI secara menyeluruh, yakni adanya jaminan pelindungan sosial, jaminan hukum, dan jaminan ekonomi bagi calon PMI, PMI dan keluarganya, baik pada masa sebelum, selama, dan setelah bekerja,” ujarnya.
Benny mengatakan, selama kurun waktu 2015–2018, penempatan pekerja migran masih didominasi oleh sektor informal yang berjumlah mencapai 1,2 juta orang. Dengan 550 ribu orang pekerja migran laki-laki (47%), dan 625 ribu orang pekerja migran perempuan (53%).
Dalam kurun tersebut, lanjut Benny, pelindungan masih berfokus pada penyelesaian kasus PMI bermasalah di luar negeri.
Untuk memberikan pelindungan kepada pekerja migran, kata Beny, beberapa hal yang masih perlu diperhatikan yaitu harus adanya perjanjian bilateral dengan negara penempatan, untuk pelindungan PMI serta melakukan koordinasi dan kewenangan penanganan pekerja migran bermasalah.
Benny menambahkan, saat ini 80% kasus bermula dari lemahnya tata kelola dari hulu sehingga perlu ada perubahan substansial dalam tata kelola di hulu, seperti engangement dan koordinasi multi-stakeholder.
“Pembagian peran tugas dalam pelayanan dan pelindungan pekerja migran masih perlu dibenahi dan diperkuat. Pembagian kewenangan ini diharapkan memberikan jaminan pelindungan kepada calon pekerja migran dan keluarganya,” imbuh Benny.
Benny menambahkan, pembagian kewenangan juga telah diatur dengan baik. Seperti pemerintah pusat, kewenangan umum terkait norma dan nilai yang mengatur tata kelola. Pemerintah provinsi kabupaten/kota, kewenangan pemda terkait izin dan rekrutmen PMI di daerah, dan penyiapan keterampilan calon pekerja migran.
“Penempatan dan pelindungan PMI perlu dilakukan secara terpadu antara instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah dengan mengikutsertakan masyarakat,” jelasnya.
Tidak hanya dari sisi kewenangan, lanjut Benny, perubahan mendasar juga dilakukan untuk memberikan pelindungan maksimal kepada pekerja migran.
Seperti perubahan ruang lingkup bekerja pada badan hukum, perseorangan dan anak buah kapal (ABK), keluarga pekerja migran di dalam negeri maupun di negara penempatan.
“Perubahan tata kelola juga dilakukan baik dari sisi regulator dan operator. Untuk memberikan kemudahan kepada Pekerja Migran juga dibentuk Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) serta membatasi peran P3MI. Penguatan peran daerah juga dilibatkan dan pencegahan konflik kepentingan,” pungkas Benny.
Laporan: Muhammad Hafidh