KedaiPena.com – Bagi Indonesia, khususnya pada sektor kehutanan dan lahan lainnya (FOLU), Result Based Payment termasuk skema REDD+, tetap menjadi salah satu instrumen untuk mendukung penurunan emisi GRK dan pencapaian target NDC. Skema ini juga semakin memperbesar peluang dan skala kerjasama perdagangan karbon, termasuk melalui mekanisme pasar dan non pasar, dengan tetap mengacu pada keputusan dan metodologi yang telah disepakati secara multilateral.
Wakil Menteri LHK Alue Dohong menyampaikan Indonesia berpandangan bahwa instrumen tersebut dan instrumen penetapan harga karbon lainnya perlu dikembangkan secara lebih efektif, efisien, inklusif, transparan, akuntabel dan adil.
“Saya percaya bahwa prinsip-prinsip ini juga merupakan prinsip yang perlu tercermin dengan baik dalam kerja sama dan kolaborasi dengan berbagai mitra pembangunan,” kata Alue saat mewakili Menteri LHK, menjadi salah satu narasumber diskusi panel pada acara “Annual Dialogue on UNDP Country Programe Document (CPD) Implementation “Innovative Financing, Just Transition, and Building Resilence to Acceierate SDG’s” di Jakarta, Kamis (16/2/2023).
Kemitraan dan peran mitra pembangunan dapat diwujudkan dalam berbagai cara, antara lain dalam penguatan aspek kebijakan dan tata kelola, peningkatan jejaring dan koordinasi antar lembaga atau pemangku kepentingan, pengembangan atau replikasi berbagai model praktik terbaik aksi iklim.
Lebih lanjut, Alue mengatakan aksi-aksi pengendalian perubahan iklim membutuhkan kebijakan strategis dan kerjasama pembiayaan antara para pemangku kepentingan di tingkat lokal dan global, seperti pemerintah (pusat & daerah), badan usaha (swasta, BUMN), MDB, LSM/CSO, komunitas, dan pemangku kepentingan lainnya yang terkait.
“Aliran pendanaan iklim dari mitra pembangunan sangat diharapkan, namun sumber pendanaan dalam negeri, setidaknya dalam jangka menengah, tetap menjadi fokus utama komitmen tanpa syarat hingga tahun 2030,” ucapnya.
Agar mampu memenuhi kebutuhan pembiayaan untuk aksi perubahan iklim, setidaknya ada 4 strategi untuk membuka dan meningkatkan pendanaan perubahan iklim di Indonesia, yaitu memperkuat kebijakan fiskal kita, termasuk penghijauan fiskal; investasi sektor swasta; mengembangkan berbagai instrumen pembiayaan yang inovatif – seperti green sukuk, blended finance, dan carbon pricing; dan meningkatkan akses ke keuangan global, seperti Green Climate Fund, Global Environment Facility, dan yang lain.
“Saya berharap semua diskusi hari ini dapat menginspirasi kita untuk mengembangkan dukungan konkrit lebih lanjut, terutama dari UNDP untuk memastikan tindakan iklim yang nyata, dengan meningkatkan komitmen kita dalam agenda iklim di Indonesia,” ucapnya lagi.
Pada kesempatan tersebut, UNDP Indonesia Resident Representative, Norimasa Shimomura, menjelaskan Country Programe Document (CPD) merupakan dokumen yang disusun secara berkala setiap tahun. CPD mencerminkan upaya UNDP untuk turut berkontribusi pada prioritas pembangunan pemerintah Indonesia sebagaimana tertuang dalam RPJMN. Dokumen ini terdiri dari empat bidang hasil program yang berfokus pada akses yang setara, transformasi ekonomi inklusif, aksi iklim dan inovasi integratif untuk SDGs.
“Melalui agenda hari ini, kami berterima kasih atas kemitraan yang terjalin, karena kami pun tidak dapat mencapai semua ini tanpa dukungan dan kerja sama Anda semua,” ujarnya saat menjadi moderator pada sesi diskusi panel.
Laporan: Ranny Supusepa