KedaiPena.com – Tinjauan lingkungan hidup yang dilakukan secara berkala oleh WALHI menunjukkan bahwa penyelenggara negara tidak bisa menjaga sumber daya alam malah melakukan pengeloaan yang menyebabkan kerusakan ekologis.
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi menyampaikan untuk tinjauan lingkungan hidup tahun 2022, WALHI akan menyampaikan potret rekaman krisis lingkungan selama tiga dekade terakhir.
“Mengapa kami melakukan ini, karena krisis lingkungan yang terjadi saat ini bersifat siatematis dan melintas ruang dan waktu. Hal ini terlihat dari terjadinya akumulasi krisis ekologi yang ditandai dengan bencana ekologis yang beruntun, meluas secara wilayah, meningkat secara intensitas dan frekuensi,” kata Zenzi dalam media gathering, yang diikuti Kedaipena, Rabu (2/2/2022).
Sebagai contoh, yang terjadi di Kalimantan Barat adalah banjir yang terjadi hingga kurun waktu satu bulan.
“Saat ini dunia berada dalam dua krisis besar. Pertama, ketimpangan dalam akses sumber daya alam, kekayaan dan kesejahteraan, serta kedua, krisis iklim,” ungkapnya.
Ia menyebutkan adanya harapan besar dari masyarakat sipil, untuk diperbaikinya tata kelola sda dan pemulihan hak rakyat serta hak pemulihan lingkungan hidup.
“Faktanya, tahun 2021 pemerintah mengambil langkah sebaliknya. Dimana, faktor yang menjadi penyebab ketimpangan sda, kesenjangan kesejahteraan dan bencana ekologis justru diperkuat melalui regulasi, yang sebenarnya bukan lah mandat rakyat pada pemilu lalu,” ungkapnya lagi.
Zenzi menyatakan tinjauan lingkungan ini juga menunjukkan pemerintah sebagai penyelenggara negara terus melakukan pembangkangan pada konstitusi.
“Penyelenggara negara bukannya melakukan sesuatu untuk meningkatkan kesejahteraan malah membuat semakin banyak kerusakan ekologis,” tandasnya.
Kadiv Kajian dan Hukum Lingkungan WALHI, Dewi Puspa menyatakan selama setahun, potret krisis lingkungan tampak nyata dengan berbagai proyek yang diselenggarakan oleh pemerintahan.
“Hutan Indonesia sebagian besar dikelola mayoritas sebagai pertambangan. Dan berikutnya untuk alih fungsi hutan produksi,” kata Dewi dalam kesempatan yang sama.
Menurut data, ada 343 ribu hektar Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) yang diberikan untuk sektor pertambangan dan 36 ribu hektar untuk non pertambangan.
Pemberian IPPKH untuk sektor pertambangan ini juga jaub lebih besar dibandingja data konsesi IUP dalam kawasan hutan yang hanya 4,5 juta hektar.
Data juga menunjukkan bahwa terdapat 3,2 juta hektar kawasan hutan yang beralih fungsi menjadi food estate, yakni di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Papua.
“Menurut data, ada 4,59 juta hektar tutupan lahan hutan dimiliki oleh sektor pertambangan. Enam terluas adalah batubara sekitar 1,9 juta hektar, emas, nikel, bijih dan pasir besi, bauksit dan tembaga,” ujarnya.
Krisis lingkungan juga terjadi di ruang pesisir dan pulau-pulau kecil.
“Misalnya proyek reklamasi yang membutuhkan pasir hingga 1,8 miliar kubik, pertambangan di pesisir dan wilayah laut hingga proyek strategis nasional yang ditujukan untuk pariwisata,” ujarnya lagi.
Dewi juga menyampaikan krisis lingkungan juga terjadi di perkotaan. Yang terlihat dari masalah sampah, banjir, polusi hingga penggusuran.
“Alih-alih mencapai tujuan pemerataan infrastruktur, proyek strategi nasional memunculkan persoalan baru sosio-ekologis di perkotaan dan pedesaan. Data WALHI menunjukkan dari total 211 program dan proyek di 13 sektor, 39 persennya berlokasi di Jawa,” paparnya.
Ia menegaskan jika penyelenggara negara tetap terus mengeluarkan kebijakan tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan di masa depan, maka krisis iklim akan semakin cepat melingkupi seluruh Indonesia.
“Kebijakan pemerintah cenderung ingin memutihkan dosa para perusak lingkungan dengan berbagai aturan hingga penetapan proyek strategi nasional. Tak hanya itu, kebijakan pemerintah pun cenderung mempersempit ruang pembelaan dari sisi masyarakat hingga pembela lingkungan,” pungkasnya.
Laporan: Natasha