KedaiPena.com – Jika dibandingkan antara nilai Pajak Karbon dengan biaya restorasi hutan, bisa dinyatakan nilainya masih terlalu kecil. Tapi implementasi Pajak Karbon, dinyatakan bisa menjadi titik awal untuk mengubah perilaku konsumen dan menurunkan praktik buruk produsen penyumbang emisi karbon tinggi.
Peneliti Pusat Riset Ekologi Dan Etnobiologi, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, BRIN, Prof. Dr. Haruni Krisnawati menyatakan perlindungan hutan, restorasi hutan dan pengelolaan hutan secara lestari merupakan salah satu cara untuk memitigasi perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca.
“Karena dalam pencapaian NDC, sektor kehutanan memiliki target terbesar. Yaitu, 17,2 persen dari 60 persen target Nasional, sesuai dengan Perpres 98 tahun 2021,” kata Prof. Haruni dalam diskusi Pajak Karbon, Senin (20/6/2022).
Dan sesuai dengan KepMen LHK No. 168 Tahun 2022, sasaran yang ingin dicapai melalui implementasi Rencana Operasional Indonesia FoLU Net Sink 2030 adalah 140 juta ton emisi karbon. Dengan kondisi, tingkat serapan lebih tinggi atau sama.
“Dengan adanya peningkatan cadangan karbon sesuai dengan Rencana Operasional Indonesia FoLU Net Sink 2030, diharapkan dapat dikolaborasikan dengan kebijakan Pajak Karbon,” ucapnya.
Skema pendanaan aksi penurunan emisi sektor FoLU ini, lanjutnya, diperoleh dari Carbon Market baik dalam maupun luar negeri, non Carbon Market dan skema RBP-REDD+ yang bisa berasal dari internasional, nasional maupun sub-nasional.
“Dengan menetapkan valuasi atas emisi karbon atau yang dikenal dengan Nilai Emisi Karbon (NEK), para polluters pay principle, dalam artian para pembuat emisi harus membayar sesuai dengan yang dia buat. Ditambah, valuasi itu juga dapat menjadi sumber alternatif pembiayaan berkelanjutan bagi pemerintah,” ucapnya lagi.
Prof Haruni menyebutkan, walaupun skema aturannya berawal dari kementerian yang terkait langsung dengan pihak industri, aturan Pajak Karbon tetap menginduk pada UU No 7/2021 dengan Kemenkeu sebagai lead-nya.
“Pajak Karbon ini diharapkan bukan hanya menambah penerimaan APBN tapi sebagai instrumen pengendalian iklim dalam mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sesuai dengan prinsip pencemar pembayar,” katanya lebih lanjut.
Pada sektor kehutanan, implementasi Pajak Karbon ini diharapkan dapat membantu pembiayaan restorasi lahan hutan. Karena, biaya restorasi lahan atau hutan sangat besar.
“Dari beberapa penelitian, dicatat untuk restorasi per hektar itu rata-rata adalah 1,866 Dollar Amerika per hektar untuk wilayah dengan kerusakan sedang. Sehingga, jika ditanyakan apakah setara nilai Pajak Karbon ini dengan biaya restorasi, menurut saya nilai pajaknya terlalu rendah dan belum layak untuk diterapkan di sektor kehutanan,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa