KedaiPena.com – Sudah puluhan tahun konflik masyarakat provinsi Riau dan Jambi dengan pihak perusahaan pemegang izin konsesi HTI dan HGU tidak terselesaikan oleh pemerintah sebagai pemangku kepentingan di Negara ini, sehingga sering terjadi gesekan antara masyarakat dengan pihak korporat yang tidak bisa terelakkan di lapangan.
“Kami masih bertahan di depan kantor Kementerian Kehutanan RI memasang tenda dan menginap, itu karena sampai saat ini belum ada penyelesaian. Kami masyarakat dianggap menduduki kawasan hutan secara tidak sah dengan cara berkebun di dalam areal kerja konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Guna Usaha (HGU),” kata Ridwan selaku Ketua Umum Komite Pejuang Pertanian Rakyat (KPPR) di halaman Kementerian Kehutanan Jakarta, Sabtu (14/12/2024).
Mantan ketua umum Serikat Tani Riau (STR) ini menyatakan hingga saat ini, pengelolaan tanah kebun masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan pemegang izin areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Guna Usaha (HGU) di dalam kawasan hutan (yang diduga ditetapkan sepihak oleh pemerintah) tidak mendapat pengakuan dan perlindungan akan hak-haknya karena berada dalam kawasan hutan.
“Masyarakat di tempatkan pada posisi paling lemah dalam upaya mempertahankan tanah dan hak-haknya atas sumber daya alam, hal ini disebabkan oleh penerapan hukum hanya melihat aspek secara legal formal hak atas penguasaan dan kepemilikan tanah, karena secara umum pertanahan di Indonesia khsusunya dibidang kehutanan masih menghidupkan asas domein verklering (bahkan plus), yakni, sebidang tanah yang tidak dapat dibuktikan hak kepemilikannya adalah tanah negara,” ujarnya.
Berbeda kenyataannya jika perusahaan telah mendapatkan izin usaha seperti PT. Rimba Peranap Indah (RPI) yang memiliki areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI), maka mereka dapat menguasai dan mengolah tanah. Fasilitas ini diterapkan dengan skema yang tidak adil dan secara langsung merampas tanah rakyat dan hutan Indonesia.
“Dengan keadaan seperti ini, pembangunan dan perluasan perkebunan kayu akan secara langsung menyeret rakyat pada berbagai masalah agrarian. Salah satunya adalah konflik penguasaan tanah,” ujarnya lagi.
Ia menyampaikan, hari ini adalah hari ke-14 dari perjalanan para petani yang menjadi peserta aksi jalan kaki dan telah sampai ke depan kantor Kementerian Kehutanan. Petani Riau dan Jambi masih bertahan di depan kantor Kementerian Kehutanan RI memasang tenda dan menginap. Dari 400 orang peserta jalan kaki dari Merak yang bertahan hingga hari ini sebanyak 370 orang. Tim medis pun melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap masa aksi, dari pemeriksaan tersebut 21 orang mengalami sakit akibat kelelahan.
“Kami sangat paham betul bahwa selama ini fasilitasi penyelesaian konflik di KHLK baru dilakukan ketika masyarakat malakukan aksi domontrasi mengetuk pintu KLHK untuk mengambil sikap yang tegas dalam penyelesaian konflik kehutanan dengan sebesar-besarnya mengedepankan kepentingan rakyat,” kata Ridwan lebih lanjut.
Ia menilai respon dan fasilitasi Kementerian Kehutanan (dahulu KLHK) terkesan hanya upaya formalitas untuk meredam aksi-aksi yang dilakukan oleh kaum tani.
“Hasil-hasil rapat fasiltasi penyelesaian konflik oleh Kementerian Kehutanan dari aksi-aksi petani ini hanya sampai pada kesepakatan bahwa kementerian akan menurunkan tim kelapangan, setelah masyarakat membubarkan aksi demontrasi terkadang berbulan-bulan belum ada realisasi kepastian kapan tim dimaksud akan turun ke lapangan,” ungkapnya.
Kalaupun ada tim dari kementerian turun kelapangan, lanjutnya, hanya sekedar datang tapi tidak ada tindak lanjut fasilitasi. Apalagi sampai pada finalisasi penyelesaian yang mengedepankan kepentingan rakyat”
“Dalam penyelesaian konflik agraria (kehutanan/pertanahan), sudah seharusnya pemerintah terlibat penuh dalam pengaturan sumber daya alam yang berpihak dan melindungi kepentingan rakyat untuk memberikan sebesar-besarnya kemakmuran pada rakyat, konflik agraria yang disulut oleh pemerintah harus diselesaikan oleh pemerintah itu sendiri bukannya bersikap netral, apalagi melindungi kepentingan segelintir pemilik modal,” pungkasnya.
Para petani Riau dan Jambi ini meminta Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka segera memerintahkan para birokrat (Perencana dan Pengambil Keputusan di bidang kehutanan) di kabinet Merah Putih, dalam hal ini Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah serta mengurangi sengketa pertanahan dengan menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat dalam penguasaan tanah dan kawasan hutan Indonesia.
Laporan: Ricki Simawan