KedaiPena.com – Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI, Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) harusnya dicabut dan tidak bisa diberlakukan lagi karena tidak berhasil memenuhi ketentuan UUD yaitu mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui forum akhir di rapat paripurna pada masa sidang setelah Perppu itu diterbitkan.
“Hal ini merujuk kepada aturan konstitusi yang berlaku yakni Pasal 22 UUD NRI 1945. Dimana, Perppu ditetapkan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya,” kata Hidayat Nur Wahid, Rabu (22/2/2023).
Dan seperti diketahui, hingga tutup masa sidang ke 3 sesudah Perppu dikeluarkan Presiden dan disampaikan ke DPR pada 9 Januari 2023, hingga Rapat Paripurna terakhir, pada 16 Februari 2023, tidak ada agenda rapat paripurna persetujuan Perppu, apalagi keputusan DPR menyetujui Perppu.
“Artinya, Perppu Ciptaker ini gagal mendapat persetujuan dari DPR bukan hanya pada sidang berikut sesudah dikeluarkannya Perppu, sesuai ketentuan UUD, tapi bahkan pada 2 rapat paripurna berikutnya lagi juga tidak mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR,” tuturnya.
Konsekuensi dari tidak diperolehnya persetujuan ini, maka sesuai ketentuan UUD, harusnya Perppu tersebut segera dicabut oleh Pemerintah atau oleh DPR.
“Itu dengan sangat jelas disebutkan dalam Pasal 22 UUD NRI 1945. Pertama, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang undang,” tuturnya lagi.
Kedua, Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
“Ketiga, Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut,” kata HNW, demikian ia akrab dipanggil.
Lebih lanjut, HNW menegaskan bahwa ketentuan Pasal 22 UUD NRI 1945 ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan sebagaimana diubah beberapa kali dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Berdasarkan Penjelasan Pasal 52 ayat (1) UU tersebut.
“Yang dimaksud dengan ‘persidangan yang berikut’ adalah masa sidang pertama DPR setleah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan,” urainya.
Krolonologisnya, kata HNW, Perppu ditetapkan pada 30 Desember 2022. Lalu, Masa Sidang III Tahun Sidang 2022-2023 telah dimulai sejak 10 Januari dan berakhir pada 16 Februari 2023, dan selama itu telah terjadi 3 kali rapat paripurna DPR, yang terdekat dari dikeluarkannya Perppu adalah rapat paripurna DPR pada 10 Januari 2023 yang juga tidak ada keputusan persetujuan terhadap Perppu sebagaimana diatur dalam UUD.
“Artinya, hingga masa sidang ditutup melaluai rapat paripurna ke 3 sesudah Perppu dikeluarkan, yakni sidang paripurna DPR pada 16 Februari 2023, tidak ada persetujuan dari DPR. Hingga saat ini kondisinya DPR sudah memasuki masa reses,” urainya lagi.
HNW menuturkan memang sempat ada pembahasan dan persetujuan mengenai Perppu tersebut di Badan Legislasi DPR RI pada Rabu (15/2), tetapi dengan penolakan dari Fraksi PKS, Fraksi Partai Demokrat dan DPD. Namun, rapat tersebut tidak bisa dianggap persetujuan DPR terhadap Perppu (walau disetujui oleh mayoritas fraksi dan pemerintah), karena masih dalam pembahasan tingkat I.
“Berdasarkan konvensi dan praktek di DPR dan peraturan perundang-undangan beserta tatib DPR, yang namanya persetujuan itu adalah di pembahasan tingkat II di Rapat Paripurna. Nah, ini tidak ada persetujuan di tingkat II di rapat paripurna,” kata HNW.
Hal tersebut diperkuat Pasal 52 ayat (4) dan ayat (5) UU Pembentukan Peraturan Perundangan yang menyebutkan bahwa persetujuan di rapat paripurna. Oleh karena itu, karena tidak ada persetujuan ini, konsekuensinya adalah merujuk kepada Pasal 52 ayat (6), bahwa DPR atau Presiden harus mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu Ciptaker ini.
“Jadi, agar tertib secara ketatanegaraan, DPR dan Presiden harus segera mengajukan RUU tentang Pencabutan Perppu Ciptaker, sebagai konsekuensi tidak berhasil mendapat persetujuan di rapat paripurna DPR,” ungkapnya.
Dan, dengan tidak segera disetujuinya Perppu oleh DPR dalam persidangan berikut, menandakan tidak adanya ‘kegentingan memaksa’ yang jadi rujukan utama mengapa Perppu dibuat.
“Pemerintah dan DPR penting segera menetapi seluruh ketentuan UUD soal Perppu, apalagi penolakan Perppu dan soal pencabutan Perppu Ciptaker ini juga sudah disuarakan oleh kalangan masyarakat luas, baik dari akademisi/pakar hukum tata negara maupun dari organisasi masyarakat sipil, di antaranya adalah Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa