BEBERAPA hari ini kita disajikan berita-berita tentang adanya penangkapan sebelas aktivis, diantaranya Sri Bintang Pamungkas, 71 tahun, dengan tuduhan makar. ‎Dua diantaranya dituduh melanggar UU ITE dan seorang lagi dituduh dengan pasal lain. Â
Apa yang dilakukan oleh SBP itu adalah membuat surat pernyataan yang ditujukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang meminta MPR agar mengadakan sidang istimewa untuk kembali kepada UUD 45 asli, mencabut mandat presiden dan wakil presiden dan mengangkat ketua presidium.Â
Surat itu diantar oleh SBP sendiri ke DPR/MPR dan Mabes TNI pada tanggal 1 Desember 2016. Dan pada tanggal 2 Desembar subuh SBP ditangkap polisi. Sampai hari ini SBP masih ditahan beserta 2 orang lainnya, sedangkan 8 orang lainnya telah dilepas.
Peristiwa ini menjadi lelucon di masyarakat, karena bagaimana bisa perbuatan makar, menggulingkan pemerintah yang sah hanya dengan membuat selembar surat pernyataan?Â
Kalau memang begitu mudahnya makar, menggulingkan pemerintah maka akan setiap hari terjadi perbuatan makar. Karena berkuasa itu sangat enak, menjadi Presiden atau berada di lingkaran itu sangat enak, sangat banyak orang yang ingin.
Karena itu bila makar, penggulingan pemerintah itu cukup dengan membuat pernyataan satu lembar maka setiap hari bisa terjadi makar.
Tetapi bagi masyarakat yang kurang jelas bagaimana caranya menggulingkan pemerintah atau Presiden yang dikawal oleh sekian batalion Paspampres, juga seorang Panglima  Tertinggi TNI, juga didukung langsung ataupun tidak langsung oleh mayoritas partai politik dan masyarakat, bisa belajar atau minta bimbingan Polri, karena menurut Polri itu bisa dilakukan.
Polri tahu caranya, polisi meyakini itu bisa dilakukan, polisi meyakini itu akan berhasil, makanya SBP dan teman-temannya langsung ditangkap.
Memang pada saat yang bersamaan, 2 Desember 2016 jam 8.00 sampai jam 13.00 terjadi gerakan massa GNPF MUI yang bisa mengumpulkan massa lebih dari 500 ribu orang dan sebagian dari massa ini yang menurut polisi pada jam 14.00 akan dibajak oleh SBP dkk, dikerahkan untuk menduduki MPR untuk mendesak diselenggarakannya Sidang Istimewa MPR. Memangnya semudah itu?Â
Aksi Bela Islam III, itu bisa terjadi karena kelanjutan dari ABI I 14 Oktober 2015, ABI 2 4 November 2016. Jadi prosesnya berbulan bulan, organisasi Islam, kelompok pengajian, aktivis masjid, mahasiswa, perguruan tinggi Islam dan lain-lain yang terlibat sangat banyak yang satu sama lain saja bisa bertentangan untuk isu-isu agama sekalipun.
Mereka hanya dipersatukan oleh satu isu, yaitu penistaan agama. Karena itu tidak semudah itu untuk membajak mereka guna menduduki MPR.Â
Yang pertama, mereka tidak mengenal SBP dkk yang bukan dari kelompok yang berbasis agama. Tidak mungkin massa yang sedemikian banyak bisa diperintah-perintah oleh orang yang tidak dikenal.Â
Mereka juga tidak mau ditunggangi atau diperalat oleh orang-orang yang tidak dikenal atau dipercayai. ‎Karena di dalam gerakan politik itu selalu ada resiko tinggi.Â
Yang kedua , bila ada diantara mereka yang ikut tentu jumlahnya sedikit . Sedangkan Polri sudah menyiapkan 6 ribu personil untuk menjaga gedung MPR. Yang ketiga, dari sedikit yang ikut itu sebagian besar pasti hanya akan jadi penonton pasif.Â
Tidak mungkin menjadi penggerak aktif yang menjebol pintu gedung MPR seperti yang pernah  dilakukan oleh para mahasiswa pada bulan Mei 1998. Sepanjang sejarah hanya para mahasiswalah yang mampu menjebol pintu DPR/MPR.
‎
Yang keempat, bila SBP dkk yang tidak punya dukungan dari satu parpolpun berhasil menduduki gedung DPR/MPR, maka tidak akan bisa memaksakan kehendak kepada parpol-parpol itu untuk melengserkan Presiden dan Wapres karena bukan MPR yang mengangkatnya, tetapi dipilih melalui Pilpres ditetapkan oleh KPU dan dilantik oleh Mahkamah Agung.Â
Jadi MPR tidak punya kewenangan untuk memberhentikan Presiden , kecuali melalui pemakzulan yang prosesnya berbulan-bulan sesuai dengan yang ditetapkan oleh UUD 45.
‎Kata makar, menurut Prof.DR. Andi Hamzah SH Guru Besar dalam ilmu hukum pidana Universitas Trisakti adalah terjemahan dari bahasa Belanda “aanslag” di KUHP Hindia Belanda yang artinya “serangan”.
Tetapi dari kata kerjanya artinya adalah “mencoba membunuh”. Ini ada sejarahnya.Â
Pada tahun 1917 terjadi revolusi Rusia yang membunuh Kaisar Tsar Nicholas II beserta seluruh anak istrinya dan pembantunya.Â
Hal ini menimbulkan “demam revolusi” Â di Eropa yang negaranya masih banyak yang berbentuk kerajaan, termasuk Belanda.Â
Karena itu di Belanda sejak 28 Juli 1920 diberlakukan UU Anti Revolusi, yang intinya untuk pembunuhan raja dan menggulingkan pemerintahan tidak berlaku yang namanya percobaan. Itu yang dimaksudkan dengan “aanslag”.Â
Percobaan itu artinya ada niat, ada kegiatan permulaan dan diberhentikan oleh kekuatan lain di luar dirinya. Kalau “aanslag” itu ada niat, ada kegiatan permulaan dan berhenti karena kemauan sendiri tetap terkena hukuman.Â
Aanslag ini kemudian masuk ke KUHP Hindia Belanda dan setelah Indonesia merdeka diterjemahkan dengan makar. Karena itu sangat tidak tepat bila pasal 107 KUHP tentang penggulingan pemerintah dikenakan kepada Sri Bintang Pamungkas (SBP) dan kawan-kawan.
Kembali dengan apa yang telah diperbuat oleh SBP yang hanya membuat selembat surat yang meminta kepada DPR/MPR untuk kembali ke UUD 45 Asli dan menggulingkan pemerintah terus otomatis pemerintah terguling? Ini imaginasi polisi yang sangat berlebihan, dan melecehkan kekuatan Polisi, TNI dan Paspampres sendiri.Â
Oleh karena itu SBP dkk harus segera dilepas dan dicabut segala tuduhannya demi hukum. Ini dagelan yang tidak lucu!.‎
Oleh Abdurrahim, Aktivis 77/78