Artikel Ini Ditulis Oleh Syafril Sjofyan, Pengamat Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78
ASTAGA. Waduh. Kok gegabah. Indonesia ini Republik Negara besar lho. Penduduk 270 juta jiwa. Bisa amburadul dalam menyajikan UU Cipta Kerja.
Katanya sebagai UU Sapu Jagat. Akan mendatangkan Investor. Akan membuat sejahtera rakyat. Akan membuat pertumbuhan ekonomi melesat.
Astagfirullah UU yang semula bernama RUU Cipta Lapangan Kerja disingkat RUU Cilaka dari awal sudah kontoversial dalam jumlah halaman, dan sebelumnya ada pasal yang muncul dan hilang yaitu pasal 46 tentang Minyak dan Gas Bumi. Setelah diserahkan kepada Pemerintah oleh DPR-RI.
Hari ini (3/11/2020) Pemerintah mengakui ada kesalahan teknis dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan diunggah dalam laman Setneg.
Kesalahan demi kesalahan membuktikan bahwa UU tersebut memang dibuat terburu-buru dan kejar tayang, sehingga wajah UU Sapu Jagat tersebut menjadi UU yang coreng moreng penuh kontroversial.
Meminjam istilah Prof. Zainal Arifin Mochtar: UU Cipta Kerja Dibuat dengan Konflik Kepentingan. UU Cipta Kerja merupakan UU dengan proses ugal-ugalan, hasilnya menjadi “UU ugal-ugalan”.
Walaupun dari Baleg DPR-RI yang “diwakili” oleh Arteria menyatakan UU Ciptaker yang diberikan oleh Baleg DPR RI kepada pemerintah sudah rapih.
Atas dasar itu, dia menduga jika UU itu masih didapati kesalahan maka ada sesuatu yang harus diusut. Penjelasan ini semakin menguatkan hasil kajian PKFH UI bahwa UU Ciptaker tersebut “jorok”.
Sebenarnya manfaat dari peraturan perundangan adalah menjaga ketertiban di tengah masyarakat, menjamin hak-hak warga negara, mengatur kewajiban warga negara, memberikan petunjuk dan batasan bagi lembaga-lembaga negara, memberikan kepastian hukum bagi warga negara, memberikan rasa aman pada warga negara, utamanya memberikan keadilan peradilan bagi seluruh warga Negara. Mutlak harus sempurna, termasuk titik komanya.
Namun fakta yang terjadi berbagai kajian yang telah dibuat oleh Pusat Kajian Anti-Korupsi (PUKAT) UGM, Komnas HAM, Pusat Kajian Fakultas Hukum (PKFH) Universitas Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), disamping NGO seperti Jatam dan Walhi.
Pada dasar hasil kajiannya semua menolak UU Cipta Kerja baik dari aspek prosedur maupun substansi. Tidak saja dari dalam Negeri aksi penolakan juga datang dari 35 Investor Global.
Buruh melakukan unjuk rasa bergelombang dan belum berhenti. Mahasiswa dan pemuda yang akan mendapatkan akibat dikemudian hari juga menolak dengan berunjuk rasa di hampir semua kota besar.
Penolakan juga didukung oleh pernyataan ratusan dosen dan gurubesar dari 65 universitas, ormas besar dan resmi seperti MUI dan Muhammadiyah serta NU menolak UU Cipta Kerja/Omnibuslaw.
Pertanyaanya dengan penolakan yang begitu massif dengan berbagai kesalahan yang akan bermunculan, apakah kemanfaatan peraturan perundangan seperti yang dijelaskan diatas benar-benar akan dirasakan manfaatnya oleh rakyat secara berkeadilan?. Kalau proses ugal-ugalan, hasilnya menjadi UU ugal-ugalan.
[***]