KedaiPena.com – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memberikan vonis ringan serta bebas terhadap lima terdakwa Tragedi Stadion Kanjuruhan. Seperti diketahui, Ketua Majelis Hakim Abu Achmad Sidqi Amsya menjatuhkan vonis bebas terhadap dua anggota Polres Malang pada Kamis silam (16/3/2023).
Vonis bebas ini jauh lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum yaitu tiga tahun penjara. Dalam pertimbangannya, Abu berpandangan gas air mata yang ditembakkan para personel Samapta Polres Malang hanya mengarah ke tengah lapangan. Akan tetapi, kata dia, gas air mata itu kemudian terdorong angin ke arah selatan menuju ke tengah lapangan.
Selain vonis bebas keduanya, Majelis Hakim juga terlebih dahulu memberikan vonis ringan terhadap tiga terdakwa lain. Mereka yang divonis ringan ialah Danki 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan dengan pidana 1,5 tahun penjara dari tuntutan jaksa selama 3 tahun penjara.
Selain itu Ketua Panpel Arema FC Abdul Haris dan Security Officer saat pertandingan Arema FC vs Persebaya Suko Sutrisno masing-masing hanya divonis 1,5 tahun dan 1 tahun penjara. Dalam tuntutannya jaksa telah meminta Majelis Hakim menjatuhi hukuman pidana selama 6 tahun penjara terhadap keduanya.
Menganggapi keputusan Mejelis Hakim tersebut, Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh, Adityo Fajar, yang juga ‘Arek Malang’, memiliki pandangannya,
“Saya kecewa, terluka. Rasa keadilan publik terkoyak. Seluruh keprihatinan dan empati, saya haturkan kepada keluarga korban. Saya seperti kebanyakan warga Malang adalah penggemar sepakbola. Tapi rasanya terlalu sakit melanjutkan ini semua setelah 135 nyawa melayang. Saya fikir saya akan berhenti menonton sepakbola Indonesia se-umur hidup!,” kata Adityo pada media, Senin (20/3/2023).
Adityo Fajar juga menanti tanggapan Ketua Umum PSSI terpilih, Erick Thohir, menyangkut perkembangan terbaru kasus Tragedi Kanjuruhan. Sebagaimana diketahui, tak lama setelah pecahnya Tragedi Kanjuruhan, 1/10/2022, Erick Thohir turut tiba ke Malang. Di hadapan warga Malang, pria 52 tahun itu berjanji turut mengawal dan menyelesaikan Tragedi Kanjuruhan.
“Saya menunggu pembuktian komitmen yang pernah diucapkan Bung Erick Thohir sebelum menjabat sebagai Ketua Umum PSSI. Masyarakat sepakbola menunggu. Sepakbola bukan hanya soal suksesi kepemimpinan federasi, tapi juga soal rasa keadilan. Mau sepakbola Indonesia bersih? Mulailah dari titik ini. Dari tragedi terbesarnya,” ungkapnya.
Mengenai hubungan politik dan sepakbola yang kerap jadi sorotan publik, Adityo Fajar yang juga merupakan penggemar berat Liverpool , memiliki pandangannya sendiri. Baginya, sudah jadi keniscayaan sepakbola tak bisa diceraikan dengan politik. Sebagai contoh Ketua federasi sepakbola Jerman saat ini, Bernd Neuendorf, juga merupakan politisi Partai Demokrasi Sosial (SPD).
“PSSI dulu juga didirikan oleh Bung Soeratin dengan maksud politik di dalamnya. Ada ungkapan beliau yang terkenal, “jika kita bisa mengalahkan Belanda di lapangan sepakbola, kita juga akan bisa mengalahkan Belanda di lapangan politik”. Poinnya adalah politiknya buat kepentingan rakyat apa bukan? Untuk memajukan bangsa atau hanya jadi mainan elite demi agenda sempitnya?”, pungkasnya.
Bagi Adityo Fajar sepakbola punya akar historis di kelas pekerja. Sepengetahuannya, kebanyakan pendukung klub sepakbola merupakan kelas pekerja.
“Jika Anda penggemar sepakbola fanatik, Anda pasti familiar dengan ungkapan ‘Created by the Poor, Stolen by the Rich’ (Diciptakan oleh orang-orang miskin, dicuri oleh orang-orang kaya). Itu singkatnya sejarah sepakbola. Seperti Liverpool itu merupakan basis Partai Buruh Inggris, Partai Konservatif gak laku di sana,” katanya lebih lanjut.
Seperti diketahui, sepanjang kekuasaan Margareth Thatcher di Inggris, pendukung Liverpool memiliki hubungan panas dengan Perdana Menteri perempuan pertama Inggris itu. Persengketaan mereka terkait isu perburuhan dan terutama menyangkut Tragedi Hillsborough pada 1989. Terkait Tragedi Hillsborough yang menewaskan 97 korban, kekuatan persatuan fans Liverpool dan daya tahannya membuat perjuangan meraih keadilan bisa digapai.
“Perjuangan itu tidak mudah, perlu lebih dari dua dekade untuk meraih keadilan final. Perjuangan yang melahirkan tokoh hebat semisal Anne Williams. Sosok perempuan baja. Ada juga Garry McIver lewat Hillsborough Justice Campaign (HJC),” tuturnya lagi.
Kembali ke Tragedi Kanjuruhan, Adityo Fajar memandang Presiden Joko Widodo juga harus segera menunjukkan sikap lanjutannya atas perkembangan penyelesaian kasus tersebut. Mengingat besarnya jumlah korban Tragedi Kanjuruhan tidak bisa hanya ditempatkan sebagai tragedi sepakbola, tetapi juga tragedi kemanusiaan nasional.
[***]