VIDEO hitam Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidajat (Ahok-Djarot) dirilis bertepatan dengan keluarnya imbauan Kepala Suku Tionghoa H. Jusuf Hamka.
Jusuf adalah anak angkat Buya Hamka. Teman dekat Jenderal Yunus Yosfiah. Pernah mendirikan partai politik dan eks komisaris Indosiar.
Dia menasehati agar orang-orang Tionghoa tau diri, tidak arogan, jangan bablas bela Ahok.
Menurutnya, ada yang salah di pilkada kali ini. Ada bara dalam sekam, di grassroot. Bila tidak di-manage dengan benar, kerusuhan Mei 98 bisa meletus. Bahkan bisa lebih parah.
Video hitam kampanye Ahok-Djarot menampilkan slide spanduk “Ganyang Cina”. Tapi, tidak ada spanduk macam itu ketika Kerusuhan Mei 98 meledak.
Saya kira ini ekspresi ahistoris. Bisa dipahami. Ahok dan Djarot bukan orang Jakarta. Mereka mungkin tidak di sini kala itu.
Mei 98 adalah kembang api revolusi. Sisi negatif peristiwa politik. Ekspresi kemarahan sosial, keruntuhan finansial regional.
Tionghoa mengalami imbas sebagai collateral damage. Target utama kerusuhan adalah menumbangkan Presiden Suharto.
Jadi keliru bila Ahok-Djarot mengilustrasikan Mei 98 sebagai anti Chinese riot.
Mei 98 tidak sama dengan kerusuhan Sampit dan Sambas. Di Jakarta, Tionghoa tidak disasar seperti Madura di Kalbar.
Pada Peristiwa Mei 98, toko-toko dan rumah mewah dijarah massa yang mulai kesulitan bahan pangan. Kebetulan saja, mayoritas pemiliknya memang etnik Tionghoa. Tapi rumah saya dijaga unsur Forkabi. Tetangga pun tidak ada yang usik keluarga saya.
Bila Mei 98 adalah kerusuhan rasial seperti anti Madura riot di Kalbar, maka siapa pun Tionghoa, mau kaya atau miskin, akan dibantai. Nyatanya tidak.
Menurut Chairman Mao, ada faktor eksternal dan internal dalam semua fenomena. Saya kira, anatomi Mei riot juga memiliki kedua faktor tersebut.
Faktor eksternal berupa jatuhnya rupiah akibat permainan Soros. Adanya korban dari etnik Tionghoa dengan segala propertinya harus ditilik sebagai imbas dari faktor internal. Seperti yang dijelaskan Chairman Mao di risalah On Contradiction (Agustus 1937).
Di sini, imbauan Jusuf Hamka jadi relevan. Tionghoa harus evaluasi diri. Bila tidak ingin jadi korban sampingan dari sebuah revolusi, mestinya Tionghoa di Indonesia bisa lakukan itu.
Sejarah berulang kali mengajarkan arogansi, tidak tahu diri, ekslusivisme dan ketamakan Tionghoa selalu menyuburkan dendam sosial.
Di belahan dunia lain, di berbagai era, Tionghoa kerap jadi sasaran. Snake River Massacre (1887), Tacoma Riot of 1885, Vancouver 1886, Salomon 2006 dan lain sebagainya. Sebabnya ya itu tadi.
Pasca kemerdekaan, di beberapa tempat, Tionghoa pernah jadi sasaran. Peristiwa Gedoran China di Balaraja tahun 1945-46 misalnya. Sebabnya bukan karena sentimen rasial an sich.
Selama masa pendudukan Belanda, banyak Tionghoa berkomplot dengan penjajah. Demikian pula pasca G30S. Tionghoa seakan kembali jadi target amarah. Sebabnya, ketika Sukarno dan PKI berkuasa, banyak Tionghoa ikut-ikutan jadi hard liner komunis.
Mereka jadi anggota Baperki, pengurus PKI, ajudan Sudisman dan berani menyerang Angkatan Darat. Mereka kira sudah kuat, dibeking Panglima Besar Revolusi dan kader PNI (leluhur PDIP).
Saat ini, saat Ahok berkuasa, kembali Tionghoa lupa diri. Kebangetan arogansi dan kebablasannya. Mereka membela penista Al Quran, penggusur pribumi, terlibat berbagai kasus korupsi dan keburukan lain.
Video hitam Ahok-Djarot mestinya kembali mengingatkan Tionghoa untuk bersikap simpatik dan rendah hati. Jangan pilih gubernur model Ahok sekali pun dia etnik Tionghoa.
Keberagaman tidak pernah berarti memilih gubernur Cina. Justru slogan “Cina pilih Cina” itu merupakan pengkhianatan atas falsafah Bhineka Tunggal Ika.
Oleh Zeng Wei Jian, aktivis Tionghoa