SEBAGAI salah seorang praktisi dan pembicara di bidang sumber daya manusia, salah satu kemewahan dari pekerjaan saya adalah kesempatan untuk mengunjungi tempat-tempat yang luar biasa sekaligus bertemu dengan orang-orang yang penuh inspirasi.
Suatu ketika saya mendapat kehormatan diundang untuk berbicara di sebuah markas pelatihan militer. Di tengah perjalanan menuju markas tersebut saya berjumpa dengan seorang tentara berpangkat Sersan yang tidak bisa saya lupakan. Nama beliau adalah Pak Almando yang pagi tu kebetulan diberi tugas untuk menjemput saya di bandara Adisucipto Jogyakarta.
Ketika berada di bandara, anehnya Sersan Almando sering menghilang, ada saja yang dia kerjakan, kadang ia terlihat membantu seorang wanita tua yang kopernya jatuh dan terbuka, tidak lama kemudian ia mengangkat dua anak kecil agar mereka dapat mengambil balon, Sersan Almando juga sempat menunjukkan arah jalan kepada orang yang tersesat ke pintu yang benar. Namun Sersan Almando selalu disiplin dan segera kembali di samping saya dengan senyumnya yang sangat khas.
Saat di tengah perjalanan menuju markas militer yang berada di luar kota Jogjakarta, saya pun tidak dapat menahan rasa penasaran untuk bertanya langsung kepada beliau.
“Mohon ijin Pak Almando, jika berkenan saya ingin bertanya hal yang sifatnya mungkin sangat pribadi” tanya saya dengan santun.
“Siap silahkan saja Pak Ivan” balas Sersan Almando dengan ramah.
“Darimana Bapak belajar melakukan semuanya ini?” lanjut saya.
”Melakukan apa Pak?” tanya Sersan Almando.
“Darimana Bapak belajar bersikap melayani begitu banyak orang lain padahal Bapak sendiri tidak kenal dengan mereka?” saya menjelaskan.
“Oh siap…, saya kira medan perang yang telah mengajari saya akan banyak hal” jawab Sersan Almando.
Tidak lama kemudian Sersan Almando bercerita sewaktu ia ditugaskan di perang Timor Timur. Disana ia dan timnya bertugas harus membersihkan ladang ranjau dan ia menyaksikan satu persatu teman-teman dan anak buahnya tewas terkena ledakan ranjau.
“Disana saya belajar untuk hidup di antara pijakan dari setiap langkah yang saya lakukan” cerita Sersan Almando dengan suara bergetar.
“Saya merasakan ketegangan disetiap langkah, karena tidak tahu apakah langkah berikutnya adalah pijakan terakhir bagi saya. Yang sanggup saya lakukan saat mengangkat kaki dengan aman, adalah mensyukuri langkah sebelumnya”
Kemudian suasana di dalam mobil kami mendadak hening, karena Sersan Almando berhenti bercerita sepertinya ia teringat kejadian traumatis saat menjalankan tugasnya.
“Saya kira sejak perang itulah, saya menjalani kehidupan seperti ini. Setiap langkah yang saya ayun merupakan sebuah anugerah baru, kesempatan baru untuk saya lalui dengan penuh rasa syukur” Lanjut Pak Almando dengan mata berbinar.
Suasana batin saya bergemuruh ketika mendengar pengalaman beliau. Apakah kita harus mengalami peperangan seperti Sersan Almando baru kita dapat mensyukuri kehidupan ini? Padahal kita dapat memulainya sekarang yaitu bersyukur atas kehidupan kita dan menyadari hakekatnya setiap langkah yang kita ayun merupakan sebuah anugerah baru yang diberikan oleh Dzat Yang Maha Pengasih.
Dirgahayu TNI ke 72. Terima kasih telah menjaga kehormatan kami dan Ibu Pertiwi, semoga Allah SWT membalas pengorbanan prajurit TNI dengan kemuliaan di dunia dan akhirat. Aamiin
Oleh Ivan Taufiza, Penulis Buku Membangun SDM Indonesia Emas dan pengasuh kolom Vere Humanum