KETIKA serangkaian foto-foto Raisa yang akan menikah tersebar ke media sosial, ribuan orang hatinya meleleh, banyak yang sulit move on disusul oleh serbuan meme alay kayak ular melingkar di pagar yang bundar.
Foto-foto itu tentu saja kemudian menjadi viral. Tidak lupa disertai beragam pujian dan komentar seru. ‘Sebuah pernikahan yang begitu indah, bahkan layak menjadi standar acara untuk para pasangan yang akan menikah di generasi mendatang,’ begitu salah satu komentar yang diforward ke group WA.
Sudah jelas yang dilakukan oleh Raisa dan Hamish adalah sebuah perbuatan yang suci dan mulia (dan memang memiliki news value yang besar). Tetapi substansinya acara pernikahan tersebut tidaklah luar biasa.
Karena pasangan ini hanya menjalani sebuah fase kehidupan manusia dewasa yang memang seharusnya mereka lakukan yaitu menikah untuk menjalani kehidupan rumah tangga.
Sepertinya memang pengguna media sosial saja yang sangat melankolis dan romantis.
Entah sejak kapan, tapi sepertinya sekarang banyak urusan sekecil melati tapi berujung belati. Beda pilihan calon presiden, uring-uringan, beda calon gubernur saling hina. Setiap ada perbedaan pendapat, dijamin bakal ada ajang adu hujat.
Beberapa hari lalu ada seorang anak muda pengemudi mobil membuang sampah sembarangan, dia ditegur oleh pengendara motor namun yang terjadi kemudian cukup mengerikan si pengendara malah dipukul oleh si anak muda.
Baru saja viral sebuah video ada bapak-bapak saling pukul di sebuah mall, alasannya karena anak-anak mereka yang berantem kemudian lapor ke orang tuanya masing-masing. Ternyata para Bapak tidak terima, terlihat mereka saling tinju dan mamanya turut partisipasi dengan saling jambak tidak kalah bengis.
Kemarin sore beredar sebuah video dimana seorang pembeli kopi yang marah-marah sampai memaki dengan kata-kata kebon binatang hanya karena si Mbak Kasir ternyata lupa mencantumkan stempel diskon. Bahkan untuk hal-hal yang begitu sederhana, asal tak sepaham pasti voltase langsung naik tinggi kayak stang sepeda jenki, tidak ada yang mau mengalah, banyak orang sekarang seperti tidak sabar untuk saling cakar, emosi gampang terbakar dan apa-apa mau dibuat sukar.
Semua kisah penuh amarah di atas terjadi di Indonesia, di sekeliling kita, bahkan mungkin kita kenal dengan mereka. Hal ini tentu membuat miris, seolah-olah bangsa kita adalah suku kanibal yang sadis.
Ternyata menjadi warga yang romantis dan sadis belum paripurna. Sekarang yang tidak kalah dahsyat adalah najis (baca: dapat diartikan sebagai ungkapan untuk sesuatu yang menyebalkan.)
Setiap hari kita menerima begitu banyak berita, video, meme dan informasi yang beredar di sosial media. Ketika menerima sebuah informasi tidak lama kemudian ditambahkan pretext, ‘berita ini benar nggak ya?’. Tidak lama kemudian kita juga yang upload berita yang gak jelas tadi ke internet. Bedanya ada tambahan pretext yang rada intelek sedikit, ‘guys ada yang bisa bantu klarifikasi?’
Ini dia yang namanya najis alias menyebalkan, kalau tidak yakin akan kebenaran sebuah informasi, ya jangan di upload apalagi di broadcast. Apakah jawaban yang kita dapat dari komplotan di media sosial akan memberi fatwa bahwa itu sebuah kebenaran? Yang lebih najis lagi dalam banyak kejadian, bahkan mereka ini sudah tidak peduli, gak mau validasi lagi, pokoknya copy tanpa ijin, langsung sikat dan broadcast ke banyak group WA atau sosial media supaya dibilang anak gahul aja.
Entah apa yang sedang terjadi, tapi yang pasti jangan lupa berdoa karena kita berada di tengah masa pancaroba yang romantis, sadis dan najis.
Oleh Ivan Taufiza, Penulis Buku Membangun SDM Indonesia Emas dan pengasuh kolom Vere Humanum