MASA puber itu bagian dari perkembangan kehidupan seorang manusia. Secara biologis, puber ini terjadi karena faktor hormonal. Hal ini umumnya bisa dicermati pada diri Anak Baru Gede, seperti tertarik pada lawan jenis, lebih emosional dan seterusnya.
Berbeda dengan puber yang terjadi karena faktor hormonal, genit justru terjadi karena adanya dorongan tingkah laku, gaya-gaya atau banyak tingkah. Hal ini mudah dilihat pada perilaku seperti mengedipkan mata kepada lawan jenis, suara dan tingkah laku yang terkesan manja dan sebagainya.
Kesan saya ketika melihat maraknya gambar Saya Indonesia, Saya Pancasila cukup wow rasanya. Awalnya seperti membangkitkan rasa nasionalisme dan kebangsaan dengan aura kekinian. Tapi, lama kelamaan seiring banyaknya orang mengupdate status media sosial mereka dengan ini, kalimat tadi malah tidak terdengar keren, malah jadi terkesan garing.
Yang lebih seru, justru semakin banyak orang yang pamer dengan tag line kalimat ini, seperti seorang remaja puber yang baru kenal lawan jenis dan langsung mengeluarkan semua jurus-jurus genitnya.
Keseruan di atas ternyata mengusik seorang teman baik saya yang bekerja di timur tengah, dia bertanya: Kemana aja kaum pubers Pancasila ini saat ada penguasa menista ayat-ayat Tuhan? Atau malah ikutan ribut tidak terima ketika pelakunya divonis penjara. Apakah paham betul dengan isi Sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa?
Lain lagi komentar sahabat lama saya yang memang seorang aktivis kemanusiaan, dia menulis whatsapp dengan huruf tebal, jangan ngomong Sila Kedua yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, kalau saat seorang nenek Asyani, nenek Minah, atau Bapak Didin terpaksa meringkuk di tahanan cuma diam dan tidak melakukan apa-apa.
Memangnya apa dosa mereka? Dihukum penjara karena mencuri? Mereka ini jelas miskin, sehingga terpaksa mengambil sesuatu untuk dapat menyambung kehidupan keluarganya. Ada dimana para Geniters Pancasila itu? Apakah sudah lupa dengan tafsir dan isi pasal 34 UUD 1945?
Kuping saya terasa semakin panas saat mendengar komentar Paman yang seorang pensiunan perwira tinggi TNI. Dia sangat geram terutama tentang Sila Ketiga yaitu Persatuan Indonesia. Sepanjang karirnya lebih dari 30 tahun mengabdi, tidak sekalipun dia pernah membanggakan diri.
Paman saya berpesan, kalau Timor Timur telah hilang, Sipadan-Ligitan sudah diambil Malaysia, Operasi Papua Merdeka dan Republik Maluku Selatan masih berkibar di luar negeri minta memisahkan diri, dan kini muncul ancaman baru yaitu Minahasa merdeka. Jadi suruh aja Pubers Pancasila itu untuk mempertahankan tanah air NKRI ini!
Kalau berbicara tentang Sila Keempat yaitu Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Seorang sahabat yang berprofesi sebagai wartawan lebih ketus lagi, dia bilang silahkan para Geniters Pancasila untuk lebih rajin mampir ke Gedung di Senayan untuk melihat tingkat absensi para wakil-wakil rakyat, berapa banyak yang hadir sidang saat membahas nasib rakyat? Dari wakil yang hadir berapa banyak yang tidur? Lihat dong apakah korupsi yang dilakukan para wakil rakyat itu semakin menurun atau malah tambah rakus?
Terakhir sindiran sadis dari sahabat lama yang kebetulan seorang pengusaha, dia memaksa kita untuk kembali memahami lebih dalam arti Sila Kelima yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Status per hari ini masih sangat memilukan, 49 persen kekayaan negeri ini dikuasai oleh 1 persen warga super kaya.
Negeri ini ribut melulu bukan karena mau ngambil harta “warisan”, tapi karena Pancasila sekedar menjadi dagangan dan alat pamer dari kaum Pubers dan Geniters yang tidak serius memaknai nilai luhur Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lelah mendapatkan komplain, omelan dan komentar tajam dari keluarga dan sahabat, akhirnya saya mencoba memahami suasana kebatinan ada apa yang terjadi. Meminjam istilah anak sekarang, apa yang sedang dialami oleh para Pubers dan Geniters Pancasila ini disebut dengan Andi Lauw yaitu kondisi labil akibat terjepit Antara Dilema dan Galauw.
Oleh Ivan Taufiza, Pengasuh Kanal Vere Humanum