SAHABAT lama saya adalah seorang chocoholic (penggemar berat coklat). Saya tahu kebiasaan ini sejak kami pulang sekolah bersama-sama di kelas 5 SD dulu. Saya sendiri tidak suka coklat. Tolong jangan bilang siapa-siapa, jadi kalau dikasih pilihan, maka saya lebih suka memilih makanan lain seperti permen misalnya.
Saya memilih coklat hanya untuk teman minum susu, lumayan bisa menghilangkan rasa susu murni yang kadang membuat saya mual. Saya tidak tahu apakah alasan saya tidak suka coklat karena mengira kalau coklat adalah penyebab timbulnya jerawat, alergi atau mungkin karena alasan lainnya.
Di sisi lain, sahabat lama saya tadi kalau makan apapun senangnya dicampur dengan coklat. Sering saya melihat dia makan kue bolu coklat ditambah dengan es krim coklat serta disiram sirup coklat di atasnya. Melihat begitu banyak rasa coklat di piring tadi, langsung membuat rahang saya sakit apalagi kalau sampai disuruh makan dan menghabiskan semuanya.
Sebelum tidur dia senang makan cemilan seperti chocolate chip, toblerone atau snacks coklat. Biasanya sahabat ini juga menyimpan kantong plastik wafer berlapis coklat yang sering dia sembunyikan. Dan satu hal yang pasti rasa es krim favoritnya adalah coklat.
Dunia modern telah mengembangkan budaya dan produk coklat begitu canggih. Mungkin seluruh dunia sekarang ini suka makan coklat. Coba pikirkan begitu banyak nama-nama terkenal dalam bisnis permen, kopi, kue, produk olahan susu dst yang produknya berlapis coklat. Bahkan sebuah kotak coklat dianggap sebagai hadiah yang cocok dan sesuai untuk berbagai macam peristiwa.
Yang ironis adalah coklat murni itu rasanya justru tidak manis, kita mungkin akan terkejut kalau tahu bahwa coklat sudah ditambahkan dengan gula atau sirup untuk membuat rasanya seperti yang kita kenal sekarang ini. Kalau kita pernah mencoba sedikit coklat batangan untuk bahan masakan milik ibu kita, pasti kita terkejut karena rasanya pahit. Untuk membuat coklat manis sudah ditambahkan dengan gula. Demikian juga susu sudah ditambahkan untuk membuat susu coklat.
Coklat adalah salah satu penyedap rasa yang usianya sudah sangat tua. Jejaknya bisa kita temukan bahkan sejak jaman Suku Maya dan Aztec yang telah memakai coklat tanpa gula sebagai minuman pahit. Columbus menemukan coklat di dunia baru dan membawanya saat ia kembali ke Spanyol.
Pada awalnya coklat hanya digunakan sebagai minuman. Sampai kemudian dunia menemukan cara membuat coklat menjadi padat. Karena biji kakao yang dipakai untuk membuat coklat tidak bisa tumbuh di mana saja, maka pada awalnya yang bisa menikmati coklat hanya kaum elit atau sekelompok orang kaya saja.
Sekarang coklat sudah diproduksi secara masal, dan bisa kita ditemukan di mana-mana mulai dari minuman, es krim, permen dan seterusnya. Bahkan di hari-hari yang khusus seperti Valentine, Paskah, saat ulang tahun, mereka sibuk merayakannya dengan makan coklat.
Beberapa pihak mencoba untuk memberikan informasi tambahan misalnya kalau konsumsi coklat dilakukan secara rutin maka hal itu baik untuk kesehatan diri kita, karena coklat memiliki antioksidan, anti-inflamasi serta dapat melancarkan fungsi pembuluh darah. Awalnya saya menduga informasi ini hanya alasan yang dipakai oleh para penggemar coklat yang fanatik.
Namun saat membaca sejarah coklat yang demikian panjang, ditambah hasil riset terbaru yang positif tampaknya sahabat lama saya yang chocoholic tadi memiliki banyak komplotan. Lalu saya berpikir, karena begitu banyaknya orang yang suka coklat artinya coklat itu merupakan makanan yang enak, menyenangkan dan sehat.
Hal ini tentu saja membuat saya khawatir, jika hari ini masih ada orang yang tidak suka coklat (seperti diri saya) sesungguhnya mereka ini termasuk ke dalam kaum yang mulutnya belum tercerahkan dan lidahnya belum mendapatkan hidayah.
Oleh Ivan Taufiza, Pengasuh Kanal Vere Humanum