SUASANA car free day (CFD) pada hari minggu pagi di sepanjang area jalan Sudirman dan Thamrin Jakarta memang selalu menjadi ajang yang menarik. CFD seperti ini seringkali dimanfaatkan oleh para event organizer untuk menggelar berbagai pameran.
Minggu (1/10), diselenggarakan sebuah pameran batik yang ramai dikunjungi pengunjung. Tersedia banyak ragam, jenis dan produk batik namun setelah berkeliling akhirnya mata saya tertuju sebuah stan batik tulis yang tampak elegan, namun masih kental sentuhan tradisionalnya.
Stan batik ini sangat menarik karena mereka menampilkan beberapa orang pembatik yang berusia muda. Kemudian saya mencoba berbicara dengan seorang pembatik muda yang berperawakan atletis, tinggi tegap namun sangat bersahabat. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Sigit.
Kata “Batik†sebenarnya berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa “amba†yang artinya “menulis†dan “titik†yang artinya “titikâ€. Apabila kedua kata tersebut digabungkan berarti menulis titik-titik yang indah.
Setelah mengucap salam kemudian saya menyapanya. Saya pun dilayani dengan ramah padahal saya tidak berniat membeli, hanya ingin menggali tentang kehidupan pembatik tulis muda.
Sigit kemudian bercerita kalau seorang pembatik tulis membutuhkan kesabaran tinggi dalam proses pengerjaannya.
Dengan fasih dia menyebutkan proses pembuatan batik yang selalu diawali dengan huruf “N”. Dimulai dari Nyungging (membuat pola motif batik di atas kertas), Njaplak (memindahkan pola dari kertas ke kain), Nglowong (melekatkan malam di kain dengan canting sesuai garis pola), Ngiseni (memberi motif isian atau isen-isen pada motif yang sudah dilekatkan dengan malam), Nyolet (mewarnai motif bunga atau burung dengan kuas), Ngelir (proses pewarnaan kain secara menyeluruh), Nglorod (proses pembilasan yang dilakukan dua tahap. Di pertengahan dan akhir.
Caranya dengan merendam kain di air mendidih), Ngrentesi (memberikan titik menggunakan canting berjarum tipis), Nyumri (menutup bagian tertentu dengan malam), Nyoja (mencelupkan kain dengan warna coklat atau sogan.
Selain harus bersusah payah belajar membuat batik, namun Sigit akhirnya menemukan sebuah kebahagiaan. Dia merasa puas ketika karyanya dipajang dan diapresiasi banyak orang. â€Kepuasannya, saat karya sudah jadi lalu dipajang dan dinikmati banyak orang,†ujarnya.
Ketika saya sedang mendengar cerita Sigit, tidak lama kemudian datanglah istri saya yang memang seorang kolektor batik tulis kuno. Istri saya kembali mengingatkan adab atau tata cara luhur memakai batik tulis kepada saya. Menurutnya dalam budaya Jawa, setiap motif batik memiliki filosofi, makna dan penempatan tertentu sehingga tidak boleh digunakan di sembarang waktu.
Misalnya motif Truntum yang berarti menuntun, yaitu kain yang dipakai oleh orang tua pengantin dalam upacara pernikahan diharapkan si pemakai/orang tua mempelai mampu memberikan petunjuk kepada putra-putrinya untuk memasuki kehidupan berumah tangga yang penuh liku-liku.
Ada lagi motif Wahyu Temurun diharapkan pemakainya selalu mendapatkan petunjuk dalam menghadapi kehidupan oleh Yang Maha Kuasa. Tentunya sangat berbeda dengan motif Parang yang berarti senjata yang sering digunakan untuk menggambarkan kekuasaan.
Dengan suaranya yang indah dan merdu istri saya kemudian menutup diskusi kami di CFD hari minggu pagi tersebut dengan kalimat: “Batik tulis adalah bagian dari budaya leluhur bangsa kita, dimana pakaian dapat menyelaraskan dengan acara yang kita datangi. Jangan seperti kamu, senangnya batik lengan pendek, terus motifnya Parang tapi dipakai untuk datang ke kawinan…â€
Oleh Ivan Taufiza Penulis Buku Membangun SDM Indonesia Emas dan Pengasuh Kolom Vere Humanum