KedaiPena.Com – Dalam waktu terakhir ini isu Freeport Indonesia menyita perhatian di arena publik, termasuk di komunitas internasional.
Jika disimak baik, soal eksploitasi tambang tembaga dan emas oleh Freeport McMoran berjalan seiiring dinamika politik pembangunan nasional maupun politik pembangunan Papua dengan berbagai pro-kontranya.
Menyikapi isu Freeport Indonesia, The Institute for Regional Institution and Networks (Irian) Institute memandang perlunya suatu formula jalan tengah, ‘win-win mindset’, dalam menyelesaikan kontroversi ini.
“Semua pihak harus memiliki platform bersama dalam mencari solusi soal Freeport. Diakui, investasi asing adalah bagian penting dalam pembangunan nasional dan pembangunan Papua,” kata Velix Wanggai, MPA, Direktur Riset The Irian Institute dalam keterangan yang diterima KedaiPena.Com ditulis Rabu (8/3).
Freeport hadir di Indonesia sejalan dengan sejarah geo-politics dan geo-economics Indonesia di transisi pemerintahan Orde Baru. Karena itu, berbicara masa depan Freeport Indonesia adalah tidak hanya berdialog soal kalkulasi ekonomi semata, namun soal Freeport adalah soal geo-politics Indonesia di kawasan Asia Pasifik.
“Untuk itu, keputusan jalan tengahnya adalah memadukan latar historis Freeport dan kondisi perkembangan pembangunan kekinian yang menuntut penyesuaian struktural (structural adjustment) aturan pertambangan,” sambung dia.
Ia juga meminta, dalam mengusulkan agar dalam renegosiasi Freeport, para pihak perlu mengedepankan kepentingan masa depan pembangunan tanah Papua. Selama ini pihak Freeport Indonesia memperoleh porsi saham yang besar dan tersisa kecil untuk Pemerintah Pusat. Sedangkan Pemerintah Provinsi Papua tidak ada ruang memiliki saham.
Karena itu, jalan tengahnya adalah diperlukan kebijakan asimetris untuk Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Timika dan beberapa kabupaten sekitarnya untuk memperoleh porsi saham dan berbagai benefit lainnya. Hal ini sejalan dengan semangat Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat.
“Saat ini adalah momentum yang tepat bagi Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua untuk menata kembali hubungan fiskal antara Jakarta-Papua,” ia menambahkan.
Implikasinya, The Irian Institute menilai saatnya Pemerintah berinisiatif mengubah UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua yang terkait dengan kebijakan keuangan yang asimetris dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Aspek selanjutnya, diperlukan jalan tengah dalam hubungan Pemerintah Papua-Freeport Indonesia. Diakui bahwa selain ada sisi negatif, namun kehadiran investasi Freeport Indonesia telah memiliki dampak positif dalam pertumbuhan pembangunan Papua, Timika dan sekitarnya. Paling tidak, manfaat finansial langsung kepada pemerintah lebih dari US$ 16,5 milliar sejak tahun 1991,” Staf Khusus Presiden era SBY ini berujar.
Namun, untuk kepentingan jangka panjang investasi Freeport, maka dibutuhkan ‘win-win outcome’ yang menguntungkan kedua belah pihak.
Laporan: Muhammad Hafidh