KedaiPena.Com- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan buruh Indonesia mendukung upaya pemerintah untuk melawan pandemi Covid-19 dengan cara melakukan vaksinisasi.
Pemberian vaksin kepada rakyat termasuk kaum buruh dan keluarganya untuk mencegah meluasnya penyebaran Pandemi Covid-19 adalah tugas negara.
“Oleh karena itu, apapun bentuk dan strategi pemberian vaksin termasuk pembiayaannya kepada seluruh rakyat menjadi tanggungjawab pemerintah,” katabPresiden KSPI Said Iqbal di Jakarta, Jumat, (21/5/2021).
Meski mendukung, Saiq Iqbal mengatakan, jika KSPI kurang setuju dengan pemberian vaksin yang dilakukan secara berbayar.
Pasalnya, kata dia, jika program ini dilanjutkan, patut diduga akan terjadi komersialiasi yang hanya menguntungkan pihak- pihak tertentu.
“Setiap transaksi jual beli dalam proses ekonomi berpotensi menyebabkan terjadinya komersialisasi oleh produsen yang memproduksi vaksin dan pemerintah sebagai pembuat regulasi, terhadap konsumen dalam hal ini rakyat termasuk buruh yang menerima vaksin,” ujar Said Iqbal.
Said Iqbal menegaskan, program vaksinisasi berbayar yang dikenal dengan nama Vaksin Gotong Royong seharusnya dibayar oleh pengusaha.
“Dikhawatirkan akan terjadi komersialisasi vaksin atau transaksi jual beli harga vaksin yang dikendalikan oleh produsen (pembuat vaksin),” beber dia.
Terkait dengan hal itu, ada beberapa alasan yang menjadi kekhawatiran KSPI bahwa vaksin gotong royong akan menyebabkan komersialisasi.
Pertama, kata dia, berkaca dari program rapid test untuk mendeteksi ada atau tidaknya seseorang terpapar virus Covid-19 yang mekanisme harga di pasaran cenderung mengikuti hukum pasar.
Said menjelaskan, awalnya pemerintah menggratiskan program rapid tes, tetapi belakangan terjadi komersialisasi dengan harga yang memberatkan. Misalnya, adanya kewajiban rapid tes sebelum naik pesawat dan kereta api, bertemu pejabat, bahkan ada buruh yang masuk kerja pun diharuskan rapid tes,” tutur dia.
“Akhirnya ada semacam komersialiasi, dari yang awalnya digratiskan. Bahkan perusahaan yang awalnya mengratiskan rapid tes bagi buruh di tempat kerja masing-masing akhirnya setiap buruh harus melakukannya secara mandiri (membayar sendiri). Ini yang disebut komersialiasi. Tidak menutup kemungkinan program vaksi gotong royong juga terjadi hal yang sama. Awalnya dibiayai perusahaan, tetapi ke depan biaya vaksin gotong royong akan dibebankan kepada buruh,” kata Said Iqbal.
Kedua, kemampuan keuangan tiap-tiap perusahaan berbeda. Said Iqbal memperkirakan, jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin tidak lebih dari 10% dari total jumlah perusahaan di Indonesia.
Atau dengan kata lain, lanjut dia, hanya 20% dari total jumlah pekerja di seluruh Indonesia yang perusahaannya mampu membayar vaksin gotong rotong tersebut.
“Berarti hampir 90% dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia atau lebih dari 80% dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak mampu membayar vaksin gotong royong. Maka ujung-ujungnya akan keluar kebijakan pemerintah bahwa setiap pekerja buruh harus membayar sendiri biaya vaksi gotong royongnya. Jika ini terjadi apakah Kadin dan Apindo akan ikut bertanggungjawab? Jangan membuat kebijakan yang manis di depan tapi pahit di belakang bagi buruh Indonesia,” tegasnya.
Said Iqbal menjelaskan, jumlah buruh di Indonesia sangat besar. Menurut data BPS 2020 jumlah buruh formal sekitar 56,4 juta orang.
Sedangkan buruh informal sekitar 75 juta orang. Dengan demikian, total jumlah buruh di Indonesia ada sekitar 130 jutaan orang. Bayangkan dengan keluarganya, maka total jumlah buruh dan keluarganya mendekati angka 200-an juta orang.
“Pertanyaannya adalah, apakah seluruh perusahaan mampu membayar 200-an juta orang (setidak-tidaknya 130-an juta buruh) untuk mengikuti vaksin gotong royong? Kalau harga vaksin gotong royong 800-an ribu dikalikan 130-an juta buruh, maka dana yang harus disediakan mencapai 104 Triliun,” ungkap dia
“Jadi ini hanya proyek lip service yang hanya manis di retorika atau pemanis bibir tetapi sulit diimplementasikan di tingkat pelaksanaan. Ujung-ujungnya vaksin gotong royong hanya akan membebani buruh dari sisi pembiayaan,” lanjut dia.
Ketiga, lanjut Said Iqbal, di tengah ledakan PHK, pengurangan upah buruh, dan resesi ekonomi yang saat ini masih mengancam sehingga rasanya tidak mungkin memberikan tambahan beban biaya kepada perusahaan untuk menyelenggarakan vaksinisasi gotong royong tersebut.
“Pasti biaya vaksin gotong rotong akan memberatkan perusahaan dan pada gilirannya nanti justru akan menekan kesejahteraan buruh,” tutur dia.
Hal lain, mengingat jenis vaksin yang digunakan berbeda dengan vaksin yang selama ini diberikan secara gratis oleh pemerintah, Said Iqbal mengingatkan agar buruh tidak dijadikan uji coba vaksin. Dengan kata lain, harus dipastikan vaksin yang digunakan halal dan aman.
“Intinya, KSPI mengharapkan kepada pemerintah agar pemberian vaksin untuk buruh digratiskan,” tegasnya.
“Bilamana pemerintah membutuhkan anggaran tambahan untuk menyelenggarakan vaksin gotong royong ini, sebaiknya pemerintah menaikkan sedikit dan wajar nilai pajak badan perusahaan (PPH 25) dan mengambil sebagian anggaran Kesehatan yang dalam UU Kesehatan besarnya adalah 5% dari APBN dengan cara melakukan efisiensi birokrasi di bidang kesehatan,” tandas dia.
Sebagaimana diketahui, dalam keputusan yang telah diteken oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 11 Mei 2021 dijelaskan bahwa harga vaksin gotong royong buatan Sinopharm adalah Rp 321.660 per dosis, di mana tarif pelayanan vaksinasi belum termasuk di dalam harga tersebut.
Dijelaskan, bahwa tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp 117.910 per dosis. Dengan demikian, jika dijumlahkan total harga sekali penyuntikan Rp 439.570 atau berkisar 800-an ribu untuk 2 kali penyuntikan.
Laporan: Muhammad Hafidh