MENKO Maritim Luhut Panjaitan nampaknya menjadi menteri spesialis Cina. MOU “Jalur Sutra Baru” di Beijing, pihak Pemerintah diwakili Luhut. Mungkin masih relevan karena menyangkut jalur laut beserta pelabuhan yang dibangun.
Tapi soal ekspor nikel dan smelternya yang berkaitan dengan Cina, Pak Luhut juga jadi sumber berita. Soal BPJS kesiapan Asuransi China Ping An Insurance yang siap menyediakan dana ‘back up defisit’ Rp 28 Triliun dikemukakan oleh Menteri Luhut juga. Nampaknya urusan dengan Cina “LO” nya adalah Luhut Panjaitan.
Hubungan erat dengan RRC ini menimbulkan perhatian serius bukan karena semata investasi dan kesiapan meminjamkan dana, tetapi sejarah hitam percobaan kudeta masih membekas.
Peraturan perundang-undangan masih melarang penyebaran faham komunisme. RRC bukan sahabat baik. Apalagi program Partai Komunis Cina yang membangun jaringan kuat dengan orang Cina “diaspora”.
Pernyataan para pejabat termasuk Presiden yang mengentengkan masalah komunisme dinilai aneh dan memprihatinkan.
Mengingat juga betapa ekonomi bangsa dikuasai pengusaha “keturunan” sehingga ada sebutan “Sembilan Naga” maka politik pun ikut terpengaruh. Perhatian dan kekhawatiran publik semakin kuat.
Pemerintah harus menyadari akan hal ini. Jaringan kepentingan RRC yang besar ini atau mungkin juga negara asing lain menyebabkan perlu dibangun mekanisme pengawasan yang lebih ketat.
Rakyat khawatir peran pejabat atau pengusaha atau aktivis atau siapapun bukan hanya sebagai pelaku kerjasama tetapi menjadi agen atau spion dari negara lain tersebut.
Menjadi mata-mata adalah kejahatan berat yang patut dihukum mati.
UU ITE yang ada yaitu UU No 11 tahun 2008 mengatur secara umum saja soal penyadapan informasi dengan sanksi maksimum 10 tahun.
Sedangkan penyadapan atau penyampaikan informasi kepada negara asing atau lebih dikenal dengan kegiatan mata-mata tidak diatur spesifik.
Ini kelemahan kita. Padahal di negara manapun spionase yang membocorkan rahasia negara patut dihukum mati.
UU No 17 tahun 2011 tentang intelijen lebih menekankan pada fungsi intelijen internal, bukan pada “serangan” atau antisipasi peran agen kepentingan negara asing.
Kita tidak menuduh orang per orang menjadi agen atau mata mata, tetapi melihat perkembangan yang ada justru mendesak keberadaan aturan pengawasan ini.
Era globalisasi dan kebebasan informasi membuka peluang terjadinya transaksi informasi oleh mata mata asing.
Badan intelijen harus lebih fungsional bukan menjadi bagian dari kebijakan yang merugikan Negara.
Kita semua tahu kini adalah era “perang intelijen” karenanya aturan bukan hanya dibuat tapi juga ditegakkan. UU Spionase sangat dibutuhkan.
Oleh M Rizal Fadillah, Pemerhati Politik, Tinggal di Bandung