KedaiPena.Com– Belum direvisinya Undang-Undang (UU) No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi menyisahkan tanda tanya besar bagi sejumlah pihak. Banyak pihak menilai, UU tersebut menjadi biang kerok jatuhnya produksi, hingga menurunnya pendapatan negara dari minyak.
“Keberadaan UU tidak lagi kuat untuk mengatur migas. UU ini telah beberapa kali mengalami pengujian di MK, yang mengakibatkan perubahan mendasar dari isi dan struktur kelembagaan yang diatur dalam UU migas,” kata Pengamat Ekonomi Salamuddin Daeng dalam keterangan tertulis, Kamis,(25/5/2022).
“Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu mensiasati putusan MK secara tidak tepat mengakibatkan konflik kelembagaan di migas parah dan berkepanjangan,” sambung Daeang begitu ia disapa.
Dalam pandangannya, Daeng menilai, UU migas telah menimbulkan aturan yang tidak pasti terkait kelembagaan, kontrak migas hingga konsep penguasaan negara atas migas.
“Misalnya UU ini dapat diterjemahkan dalam konsep cost recovery, atau Gross split atau bagi hasil lainnya yang meresahkan pelaku usaha migas,” jelas dia.
Ia menambahkan, UU Migas telah gagal dalam mengatasi konflik antara pemerintahan sendiri, konflik antar lembaga dan konflik antara pemerintah pusat dan daerah.
“Dalam sektor migas banyak sekali lembaga pemerintah atau entitas yang terkait pemerintah berebut otoritas dan memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri. Meskipun semuanya tidak mampu bekerja mengangkat produksi migas,” jelas dia.
Yang parahnya, lanjut Daeng, UU migas gagal menarik minat pelaku usaha dalam menanamkan modalnya dalam investasi disektor minyak dan gas.
“Juga gagal dalam menarik minat lembaga keuangan melakukan pembiayaan. Gagal menekan resiko usaha di bidang hulu migas,”’papar dia.
Daeng menilai, belum direvisinya UU migas hingga saat ini lantaran ego sektoral stake holder migas khususnya lembaga legislasi atau dalam hal ini banyak fraksi.
“Adanya politik transaksional dari oknum lembaga legislatif dan eksekutif. Sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah lemah,” tutur Daeng.
Ia memandang, pergantian aktor di badan legislatif hingga tahapan pembentukan RUU menjadi UU yang begitu panjang juga menjadi faktor penyebab tak kunjung direvisinya aturan tersebut.
“Pemerintah yang seharusnya pro aktif dalam mendorong revisi UU No 22 Tahun 2001,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi