KedaiPena.Com – Subtansi dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) sebenarnya tidak jauh dengan isu-isu soal korupsi yang berkembang di tahun 2011.
Isu-isu tersebut antara lain terkait penyadapan yang ingin diganggu, kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik independen diupayakan untuk dihilangkan dan pembentukan pengawas dan lain sebagainya.
Demikian hal tersebut disampaikan oleh Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam diskusi publik dengan tema ‘Revisi UU KPK : Pemberantasan KPK atau Pemberantasan Korupsi’, Rabu (25/8/2021).
“Kalau kita cermati sebenarnya, pelemahan UU KPK ini sangat kompleks, kalau kita lihat dari kaca mata hukum ada permasalahan formil dan materil,” ucapnya.
Permasalahan formil, kata Kurnia, dalam konteks proses pembuatan UU. Pasalnya, di UU nomor 12 tahun 2011 yang diubah menjadi No 15 tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan sudah jelas asas apa saja yang harus termaktub.
“Tapi hampir semuanya ditabrak, saya ambil contoh, dalam setiap proses revisi semua UU itu harus dipenuhi unsur partisipatif, akan tetapi kalau kita lihat proses revisi UU KPK, mereka tidak partisipatif suara masyarakat tidak di dengar,” katanya.
“Padahal saat itu sudah banyak tokoh masyarakat yang bersuara menolak revisi KPK, dan sudah banyak kajian hukum yang menegaskan bahwa kalau ini berlaku maka akan berpengaruh besar terhadap eksistensi lembaga KPK dalam pemberantasan korupsi,” sambungnya.
Selain isu partisipatif, kata dia, salah satu isu yang krusial dalam revisi UU KPK pada saat paripurna di DPR-RI. Pada saat itu dilakukan diantara bulan Akhir Agustus dan September, forum paripurna tidak kuorum.
“Justru ini menjadi permasalahan yang sangat serius, bayangkan mereka ingin mengesahkan sebuah UU yang menjadi penopang agenda pemberantasan korupsi, tapi kalau berdasarkan teman-teman yang hadir mengihitung dalam paripurna itu dari 570’an anggota DPR itu hanya 110 -120 anggota DPR yang hadir,” imbuhnya.
Ia pun mengaku, ICW pernah meminta untuk ditunjukan hasil CCTV diruangan paripurna pada saat pembahasan revisi UU KPK,. Hal itu diminta oleh ICW saat hendaknmelakukan uji formil di Mahkamah Konstitusi (MK).
Tidak hanya itu, lanjut dian, yang akan menggunakan UU 19 tahun 2019 itu kan bukan Presiden dan juga DPR. Namun yang akan menggunakan KPK.
“Semestinya pihak yang pertama kali didengar adalah KPK. Tapi faktanya yang saya tahu lebih dari dua kali KPK berkirim surat ke DPR untuk meminta bertemu dan menyampaikan apa-apa saja yang menjadi permasalahan di KPK tapi itu tidak diberikan,” jelasnya.
Sedangkan secara materil, ujar Kurnia, hal yang sangat subtansi bagi dirinya KPK saat ini sudah bukan lagi lembaga negara yang independen.
“Pasal 3 UU KPK yang baru itu mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Kalau kita cermati pasal 3 UU KPK yang lama tidak ada eksekutif itu,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FIA UI, Muhammad Alauddin Zufar mengatakan, diskus ini dilakukan untuk mengukur dampak dari revisi UU KPK terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Tujuan dari diadakannya kegiatan ini untuk menambah perbendaharaan informasi, pengetahuan bagi mahasiswa dan masyarakat umum,” ujarnya.
Selain itu, tegas dia, diskusi tersebut sebagai sarana antara masyarakat, mahasiswa dan para praktisi dibidang hukum, administrasi dan korupsi saling bertukar pikiran.
“Serta untuk membangun kesadaran pada elemen masyarakat dan civitas akademika Universitas Indonesia dalam menganalisis pentingnya pemahaman isu mengenai KPK, sekaligus mengetahui arti betapa pentingnya pemberantasan korupsi di negeri ini, terlebih akhir-akhir ini pelemahan pada tubuh KPK semakin jelas terlihat,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi