KedaiPena.Com – Pendiri Monash Institute, Mohammad Nasih menilai, pengesahan Revisi Undang- undang (RUU) KPK nomor 30 tahun 2002 yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR merupakan persekongkolan Politik.
Nasih begitu ia disapa mengatakan bahwa persekongkolan itu nyata terjadi lantaran yang melakukannya adalah seluruh fraksi partai pendukung pemerintah.
“Di balik sidang-sidang di DPR yang merupakan sekedar formalitas saja, sudah terjadi kesepakatan-kesepakatan untuk membuat Undang-undang hasil revisi yang bisa membuat mereka makin leluasa untuk melakukan penyelewengan kekuasaan abuse of power ,” ujar Nasih kepada wartawan, Sabtu, (21/9/2019).
Nasih memandang, jika revisi UU KPK, bukan merupakan sebuah persekongkolan politik antara eksekutif dan legislatif, bisa dipastikan prosesnya akan berjalan sangat alot.
Nasih melanjutkan, andai pun seluruh partai politik yang memiliki wakil di DPR menyetujui revisi UU KPK, tetapi pemerintah tidak menginginkannya, maka proses revisi juga tidak akan secepat yang telah terjadi.
“Jika pun DPR kemudian mengesahkannya tanpa persetujuan pemerintah, UU hasil revisi itu baru akan bisa berlaku efektif setelah sebulan,” tegas Nasih.
Nasih juga menegaskan, UU yang telah disahkan oleh DPR akan secara otomatis berlaku setelah satu bulan, walaupun tidak mendapatkan persetujuan Presiden.
“Tidak seperti sekarang yang memang disepakati bersama antara DPR dan pemerintah. Presiden sama sekali tidak menunjukkan penolakannya. Dengan kata lain, nampak jelas persekongkolannya,” imbuh Nasih.
Nasih menuturkan, Presiden Jokowi sedianya dapat mengambil langkah untuk membuktikan bahwa revisi tersebut bukanlah persekongkolan jahat antara eksekutif, dan legislatif. Caranya, dengan menerbitkan perppu.
Bagi Nasih, perppu adalah alat yang sangat efektif untuk melakukan torpedo terhadap Undang-undang yang telah dibuat oleh DPR. Namun, sampai saat ini belum ada sama sekali tanda-tanda bahwa Presiden Jokowi akan mengeluarkan perppu.
“Yang bertindak justru adalah kalangan masyarakat sipil dengan mengancam akan membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK),” papar Nasih.
Nasih memandang, persekongkolan politik tentu sangat membahayakan negara. Sebab, sekali berhasil kekuatan-kekuatan politik yang bersekongkol itu akan berusaha untuk mengulanginya demi memuluskan agenda-agenda jahat mereka.
“Dengan kekuatan dominan pendukung pemerintah di DPR, kekuatan politik yang mengambil peran oposisi tidak akan mampu berkutik untuk melakukan perlawanan,” ungkap Nasih.
Nasih mengungkapkan, dalam mekanisme demokrasi, pada akhirnya yang dilakukan adalah voting. Jika semua dilakukan dengan cara ini, maka persekongkolan akan berhasil secara paripurna.
“Tidak akan ada agenda politik pembuatan undang-undang yang diinginkan rezim tidak akan berhasil mulus. Sebab, mereka berada dalam sebuah blok politik yang penentunya adalah elit puncak,” beber Nasih.
Kekuatan Politik Formil Tidak Bergerak, Saatnya Ekstra Parlementer Bergerak
Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) ini mengungkapkan, ketika kekuatan politik formal di dalam lembaga legislatif tidak memungkinkan lagi untuk melakukan perlawanan, maka diperlukan kekuatan ekstra parlementer untuk menyuarakan kebenaran.
“Kampus dan LSM yang sebelumnya nyaring meneriakkan demokrasi dan penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi harus menunjukkan keberpihakan yang jelas,” lanjut Nasih.
Nasih mengatakan, jika elemen masyarakat dan mahasiswa tidak segera turun tangan, dikhawatirkan Indonesia akan mundur ke belakang dan menjadi lebih parah dibandingkan rezim Orde Baru.
“Jika di dalam rezim Orde Baru korupsi dilakukan hanya oleh eksekutif, tetapi yang terjadi saat ini, korupsi terjadi di dalam segala lini. Dan lembaga-lembaga yang seharusnya melakukan checks and balances, justru berkolaborasi dan saling melindungi agar bisa berbagi,” tandas Nasih.
Laporan: Muhammad Hafidh