KedaiPena.com – Walaupun Pemerintah Indonesia terlihat aktif dalam menyuarakan upaya pencegahan perubahan iklim, tapi kehadiran UU Cipta Kerja yang sejak sebelum disahkan sudah diindikasikan akan merusak upaya pelestarian lingkungan atas nama pembangunan, menunjukkan pemerintah tak peduli dengan lingkungan.
Proyeksi pelemahan pelestarian lingkungan ini dibuktikan oleh beberapa kajian yang dilakukan Greenpeace Indonesia dan para pakar lingkungan lainnya. Tapi suara mereka, ternyata tak mampu gencarnya upaya pemerintah untuk terus mengusung UU Cipta Kerja.
Senior Forest Campaigner, Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin menyatakan UU Cipta Kerja memiliki pasal-pasal yang setelah dianalisa ternyata berdampak secara signifikan pada pelemahan pelestarian lingkungan hidup.
“Bukan hanya Greenpeace saja sebenarnya. Tapi juga koalisi masyarakat sipil. Kami sudah menyampaikan ancaman dari UU Cipta Kerja ini pada lingkungan dan pelestarian, sebelum UU Cipta Kerja tersebut disahkan,” kata Asep saat dihubungi, Jumat (26/8/2022).
Contohnya, pasal 110A dan 110B. Atau dihapuskannya kewajiban daerah untuk mempertahankan 30 persen kawasan DAS sebagai hutan.
“Atau terkait projek strategis nasional, dilakukannya alih fungsi hutan. Bahkan kawasan konservasi mangrove masuk dalam projek strategis nasional maka dengan mudah dialihkan fungsinya,” ucapnya.
Ia juga menyinggung terkait partisipasi publik dalam upaya perlindungan hutan telah dikurangi serta pelemahan status Amdal.
“Karena itu, kami dari Greenpeace, para ahli hutan, pengamat lingkungan, pakar hukum lingkungan menganggap UU Cipta Kerja ini adalah ancaman pada lingkungan hidup sekarang dan kedepannya. Semua UU lingkungan yang bagus, dihilangkan oleh kehadiran UU Cipta Kerja ini,” ucapnya lagi.
Kajian, kritik dan keluhan, lanjutnya, telah disampaikan oleh Greenpeace dan gerakan masyarakat sipil lainnya melalui aksi, diskusi hingga gerakan turun ke jalan.
“Bukan cuma pemerintah dan KLHK. Tapi juga sudah ke DPR. Judicial Review materil UU Cipta Kerja terkait lingkungan memang belum ada. Yang formil memang sudah diputuskan oleh MK UU Ciptaker ini inkonstitusional,” kata Asep.
Dalam film dokumenter kerjasama Greepeace dengan Watchdoc, ia menyebutkan tersaji data-data terbaru terkait kerusakan lingkungan.
Salah satunya, yang diterbitkan pada Juli 2022, Sangihe Melawan. Diceritakan tentang Elbi, penduduk Kepulauan Sangihe yang memiliki suami petani kopra.
Disampaikan, sebagai petani kopra, ia dan suami bisa mendapatkan penghasilan Rp1 juta per panen. Sementara untuk makanan sehari-hari, bisa didapatkan dari tanaman di sekitar rumahnya.
Penduduk Kepulauan Sangihe mendapatkan penghasilan dari hasil perkebunan, membuat kapal dan menangkap ikan di laut.
Tapi ketenangan mengolah sumber daya alam ini terancam dengan hadirnya usaha pertambangan PT Tambang Mas Sangihe pada Januari 2021, tujuh bulan setelah UU Minerba No 3 tahun 2020 dan tiga bulan setelah UU Cipta Kerja 2020 disahkan.
Izin tersebut diberikan atas luasan lahan 42 ribu hektar atau setengah dari luas Pulau Sangihe untuk 33 tahun atau hingga 2052. Proyeksinya adalah membangun pabrik pengolahan mineral di atas lahan warga dengan harga Rp10 ribu per meter. Artinya Elbi dan keluarganya akan mendapatkan Rp300 juta untuk 3 hektar tanah miliknya. Tapi, jika itu dilakukan maka ia tak lagi memiliki sumber penghasilan.
Tak hanya mengancam sumber penghasilan warga, izin atas tambang tersebut juga mencapai Gunung Sahendaruman yang menjadi sumber dari 70 anak sungai di 70 desa. Artinya, izin tambang terbuka tersebut akan menghancurkan hutan lindung dan seluruh keragaman flora dan fauna yang berhabitat di hutan tersebut.
Belum lagi, jika tambang terbuka itu menyebabkan longsor dan menimbulkan sedimentasi. Maka, tak akan sedikit karang di perairan Sangihe yang akan mati dan ikan pun akan pergi meninggalkan kawasan tersebut.
Laporan: Ranny Supusepa