KedaiPena.Com – Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Amin Ak memperingatkan pemerintah terkait risiko fiskal jangka panjang karena kebijakan belanja dan pendapatan negara yang diambil.
“Jangan sampai pemerintah gagal mempertahankan stabilitas fiskal yang bisa menyebabkan ketidakmampuan memberikan layanan yang baik kepada masyarakat dalam jangka panjang,” kata Amin Ak, Rabu, (25/11/2020).
Hal itu disampaikan oleh Amin Ak, menanggapi kian membesarnya jumlah utang pemerintah pada kuartal III tahun 2020 ini.
Namun, sampai saat ini pemerintah masih saja mempertahankan proyek-proyek ambisius yang sejatinya bisa ditunda hingga kondisi keuangan negara lebih baik.
Amin mencontohkan, proyek tol trans Sumatera tahap I yang membutuhkan tambahan dana sebesar Rp80 triliun yang diusulkan diambil dari dana APBN melalui penyertaan modal negara (PMN).
Seperti PT Hutama Karya, lanjut Aminx yang bertanggungjawab pada pembangunan tol Trans Sumatera meminta pemerintah mengucurkan PMN secara bertahap hingga 2023 mendatang.
“Perinciannya Rp 15 triliun di 2021, sebesar Rp 30 triliun di 2022 dan Rp 35 triliun di 2023. Infrastruktur penting, namun karena kondisi keuangan negara yang sedang berat dan utang yang makin menumpuk, proyek ini bisa ditunda karena untuk saat ini bukan prioritas,” tegas Amin.
Lebih lanjut Amin menegaskan, pemerintah semestinya memiliki rasa prihatin terhadap krisis saat ini karena pandemi Covid-19 belum berakhir ditambah ekonomi saat ini masuk ke jurang resesi.
Amin menilai, pemerintah juga kurang berani menyisir dan memotong anggaran belanja masing-masing kementerian yang mestinya bisa ditunda demi penghematan.
“Kecuali belanja pemerintah yang bertujuan menstimulus konsumsi publik dan menggerakkan ekonomi nasional, serta penguatan ketahanan pangan dan energi,” katanya.
Sebagaimana disebutkan Kementerian Keuangan, utang pemerintah per September 2020 mencapai Rp 5.756,87 triliun, melesat lebih dari Rp 1.000 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Rasio utang terhadap produk domestik bruto pun meningkat dari 30,5% pada tahun 2019 menjadi 38,5% terhadap PDB pada 2020.
Dalam dua pekan terakhir, pemerintah kembali menambah utang lewat mekanisme pinjaman bilateral masing-masing Rp9,1 triliun dari Jerman, Rp15,4 triliun dari Australia, dan Rp6,9 triliun dari Jepang.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, jumlah tersebut masih kurang dibanding angka defisit APBN yang melonjak menjadi Rp 1.039,2 triliun atau setara 6,34% terhadap PDB yang sebelumnya ditargetkan di level 1,76% atau setara Rp 307,2 triliun.
Defisit melebar karena kebutuhan belanja negara yang meningkat menjadi Rp 2.739,16 triliun.
Pemerintah sendiri memproyeksi rasio utang terhadap PDB berpotensi mencapai lebih dari 40% pada tahun depan seiring defisit anggaran yang masih lebar akibat Pandemi Covid-19.
Terkait posisi utang luar negeri, Bank Indonesia beberapa hari lalu menyebut terjadi peningkatan sebagian rasio risiko.
Rasio Utang Luar Negeri terhadap Ekspor tahun 2020 mencapai 207,16%, bandingkan dengan akhir 2019 (177,50%), akhir 2014 (139,46%).
Rasio utang luar negeri terhadap PDB tahun 2020 mencapai 38,13%, tahun 2019 mencapai 36,07% dan 2014 mencapai 32,95%.
Kenaikan jumlah utang juga diikuti naiknya bunga utang. Sebagai perbandingan, tahun 2005, jumlah bunga utang Rp65,1 triliun, kemudian merangkak naik menjadi Rp275,52 triliun (2019), dan Rp373,3 trilun (2021).
Amin pun mengingatkan, tingginya cicilan utang pada akhirnya akan berdampak berkurangnya kemampuan ekspansi fiskal, padahal penanganan dampak pandemi masih jauh dari kata berhasil.
Menurunnya ekspansi fiskal akan membuat pengembangan belanja modal yang sangat diperlukan untuk percepatan pemulihan ekonomi menjadi rendah.
“Kedua kalau defisit cukup besar dalam waktu tertentu, akhirnya membuat kondisi keuangan kita semakin tipis. Kemampuan ekonomi untuk menciptakan pendapatan pun semakin berat,” pungkasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh