KedaiPena.Com – Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng menilai bahwa utang yang saat ini dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor energi yakni PT PLN dan Pertamina Persero merupakan masalah berat.
Hal tersebut disampaikan oleh Daeng saat menanggapi membengkaknya utang PLN dan Pertamina lantaran perlemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini. Utang kedua BUMN tersebut didominasi valuta asing (valas).
“Ini adalah masalah yang sangat berat karena Pertamina dan PLN tetap harus membayar bunga atas utangnya, PLN membayar listrik swasta, membeli batubara, membayar gaji, pensiun dan lain-lain. Kalau kedua perusahaan ini sampai mengalami masalah merosotnya cash flow ada kemungkinan aset perusahaan seperti kilang dimatikan, pembangkit dimatikan, kemudian akan dijual untuk bisa bayar kewajiban dan utang,” kata Daeng kepada wartawan, Selasa, (21/4/2020).
Daeng menjelaskan PLN dan Pertamina sendiri memiliki karakter utang dan keuangan yang relatif sama. Dalam lima tahun tahun terakhir misalnya keduanya cukup agresif dalam mengambil utang dalam valuta asing.
“Pertamina bertugas membiayai mega proyek infrastruktur skala besar dan membeli kilang-kilang minyak swasta yang mangkrak, membangun jalur pipa, membeli kapal, sementara PLN bertugas pembangkit listrik 35 ribu MW, kewajiban membangun jaringan, kewajiban membeli listrik swasta. Itulah mengapa utang kedua perusahaan ini yakni PLN dan Pertamina sangat besar, dan kewajiban perusahaan ini juga sangat besar,” papar Daeng.
Daeng menegaskan masalah yang terjadi kemudian adalah penerimaan dua BUMN ini adalah dalam rupiah. Padahal kewajibannya yang paling besar dalam dolar.
“Baik pembelian bahan bakar dalam kasus PLN dan pembayaran utang valas. Sementara pertamina mengandalkan penjualan BBM umum,” ungkap Daeng.
Daeng menambahkan kondisi tersebut juga diperburuk dengan penurunan permintaan dan konsumsi yang mengakibatkan penjualan pertamina dan PLN pada masa Covid-19.
“Akibatnya keuntungan perusahaan BUMN akan menurun, atau bahkan bisa merugi dalam tahun ini. Sementara kewajiban meningkat dalam dolar,” lanjut Daeng.
Kesulitan lainnya, lanjut Daeng, adalah kedua BUMN ini akan sulit menagih piutangnya kepada pemerintah di masa wabah Corona.
Daeng menambahkan penurunan harga minyak mentah, harga batubara dan gas akan menjadi alasan pemerintan menghapus utang pada kedua BUMN tersebut karena telah dianggap lunas tahun ini dimasa wabah tahun ini.
“Dengan dasar hitungan selisih harga jual listrik dan BBM yang dijual kedua BUMN ini kepada masyarakat,” tandas Daeng.
Diketahui dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI dengan sejumlah BUMN secara virtual. Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini dan Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengaku bahwa anjloknya nilai tukar rupiah akibat dampak Corona membuat dua BUMN tersebut harus mengencangkan ikat pinggang.
Direktur Utama PLN, Zulkifli Zaini mengatakan melemahnya rupiah atas dolar membuat beban perusahaan menjadi lebih besar. Sebab, mayoritas utang yang dimiliki oleh PLN saat ini berbentuk valas.
“Tujuh puluh persen dari utang PLN itu dalam valas. Sudah barang tentu rupiah melemah maka utang kami dalam rupiah akan meningkat,” ucap Zulkifli dalam Rapat Dengat Pendapat tersebut.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati mengaku utang Pertamina cukup banyak yang berbentuk dolar AS sehingga pelemahan rupiah pasti berpengaruh.
“Semua pinjaman kami bond dalam bentuk dolar AS. Jadi dari hasil treatment shock kami, dampaknya luar biasa,” kata Nicke.
Laporan: Muhammad Hafidh