Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Agar lebih lengkap, silakan baca bagian pertama tulisan ini dengan judul: Utang Pemerintah untuk Belanja Produktif: Bodoh atau Pembodohan Publik? (Bagian 1).
Alasan kedua, bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB di bawah 60 persen masih aman, juga mencerminkan ketidakmengertian, atau pembodohan publik?
Apa arti aman?
Yang jelas, utang pemerintah saat ini sudah menjadi masalah bagi rakyat, meskipun rasionya di bawah 60 persen dari PDB. Beban bunga utang pemerintah terus naik pesat.
Rasio beban bunga terhadap PDB naik dari hanya 11,6 persen pada 2014 menjadi 17,8 persen pada 2019, yang tentu saja disebabkan oleh kenaikan utang pemerintah yang melonjak pesat.
Akibatnya, pemerintah menaikkan pajak (PPN) untuk menutupi kenaikan beban bunga utang. Artinya, masyarakat akhirnya yang menanggung beban utang pemerintah tersebut.
Apa arti aman? Apakah tidak akan terjadi krisis seperti Sri Lanka?
Permasalahan krisis Sri Lanka (dan Argentina atau Turki) pada dasarnya tidak terkait langsung dengan rasio utang pemerintah terhadap PDB.
Krisis Sri Lanka merupakan krisis utang luar negeri (termasuk utang swasta dan BUMN), yang relatif terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan negara dalam mendapatkan devisa dari ekspor, atau dikenal dengan debt service.
Semakin besar rasio debt service, semakin besar potensi krisis utang luar negeri, yaitu krisis cadangan devisa atau krisis valuta.
Rasio debt service Indonesia pada 2019 cukup tinggi (buruk). Artinya, risiko menjadi krisis cukup besar. Hal ini terbukti, kurs rupiah jatuh lebih dari 20 persen hanya dalam satu bulan saja, jatuh dari Rp13.765 pada 21 Februari 2020 menjadi Rp16.575 per dolar AS pada 23 Maret 2020.
Kurs rupiah hanya “terselamatkan” setelah masyarakat internasional sepakat memberi pinjaman senilai 4,3 miliar dolar AS pada awal April 2020, melalui penerbitan global bonds.
Artinya, Bank Indonesia ketika itu nampaknya sudah tidak ada kemampuan untuk intervensi kurs rupiah.
Cadangan devisa milik Bank Indonesia dan pemerintah nampaknya sudah terkuras dan tidak cukup untuk intervensi.
Kenaikan harga komoditas sejak April 2020 memang memberi keuntungan bagi ekonomi Indonesia. Rasio debt service membaik.
Tetapi, waspada, ketika harga komoditas turun maka potensi terjadi krisis utang luar negeri akan kembali membesar.
Alasan ketiga, bahwa utang pemerintah digunakan untuk belanja produktif, maka tidak masalah, juga merupakan alasan yang mengada-ada, terkesan bodoh, atau membodohi publik.
Tidak ada satu negara di dunia yang (berani) mengatakan utang pemerintah digunakan untuk belanja produktif, atau belanja modal.
Karena utang pemerintah tidak dapat dipilah-pilah digunakan untuk belanja yang mana. Apalagi kalau utang pemerintah tersebut berasal dari penerbitan surat berharga negara. Bagaimana memilahnya?
Lagi pula, apa artinya utang pemerintah digunakan untuk belanja produktif? Bagaimana mengukurnya? Apakah pertumbuhan ekonomi menjadi lebih tinggi? Atau rasio penerimaan pajak terhadap PDB menjadi lebih tinggi?
Ternyata, pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun untuk periode 2014-2019 lebih rendah dari periode 2004-2014, yaitu 5 persen versus 5,7 persen.
Rasio penerimaan pajak terhadap PDB juga lebih rendah, hanya 10,2 persen rata-rata per tahun untuk periode 2015-2019, turun dari 12 persen pada periode 2005-2014. Jadi apanya yang belanja produktif?
Karena itu, klaim bahwa utang pemerintah untuk belanja produktif sama sekali tidak masuk akal, hanya untuk pembenaran tanpa dasar, dan membuat publik menjadi lebih bodoh.
Karena, berdasarkan landasan ekonomi, utang pemerintah timbul akibat pemerintah menjalankan defisit anggaran yang harus ditutup oleh utang.
Sedangkan defisit anggaran merupakan bagian dari kebijakan fiskal ekspansif untuk menjaga atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik melalui belanja sosial maupun belanja modal.
Semoga tulisan ini dapat meluruskan alasan-alasan yang tidak masuk akal, yang menjadi pangkal pembodohan publik.
[***]