BANYAK ahli ekonomi Indonesia. berpandangan bahwa utang luar negeri merupakan faktor yang paling menentukan dalam menggerakkan ekonomi negara ini. Pandangan semacam itu yang menguatkan kebijakan Pemerintah mengambil utang sebanyak-banyaknya yang bisa diberikan baik oleh megara lain maupun pihak swasta internasional.
Ternyata peningkatan utang pemerintah secara fantastis tidak menolong pertumbuhan ekonomi. Padahal utang meningkat secara cepat, sementara ekonomi bergerak melambat. Mengapa bisa terjadi?
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam lima tahun terakhir bergerak sekitar 4,75 % sampai 5,2 persen dan cenderung ke arah penurunan dalam masa mendatang.
Padahal utang luar negeri pemerintah dan otoritas moneter meningkat cepat dan sangat fantastis. Bayangkan pada tahun 2014 senilai USD 129,736 miliar. Hingga kwartal I 2019 utang luar negeri pemerintah dan otoritas moneter mencapai USD 190,465 miliar. Utang pemerintah dan otoritas moneter meningkat 47 %. Ini adalah peningkatan yang sangat besar.
Peningkatan utang luar negeri pemerintah tersebut jika mempergunakan selisih kurs maka prosentase peningkatannya samgat besar. Kurs rata-rata sebelum pemerintahan Jokowi-JK sekitar Rp10 ribu per satu dolar AS. Sementara sekarang kurs rata-rata pada posisi Rp14 ribu per US dolar.
Belum lagi jika ditambah utang swasta. Sebagaimana data Bank Indonesia, utang luar negeri swasta tahun 2014 senilai USD 163,592 miliar. Utang luar negeri swasta hingga Q1 2019 senilai USD 197,127 miliar atau meningkat sebesar 20 %.
Bagian lain yang tidak kalah besar adalah peningkatan Surat utang negara (SUN). Jika pada tahun 2014 senilai Rp. 1,101,648 miliar meningkat menjadi Rp. 2,131,895 miliar pada Juni 2019 atau bertambah sebesar Rp. 1,030,247 miliar. Surat utang negara ini mengalami peningkatan sangat besar yakni mencapai 94 %. Ini luar biasa!
Selanjutnya Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pada tahun 2014 senilai Rp. 143,901 miliar meningkat menjadi Rp. 460,468 miliar pada juni 2019 atau bertambah sebesar Rp. 316,567 miliar atau sebesar 220%.
Peningkatan utang terutama utang pemerintah dalam jumlah besar, namun pertumbuhan ekonomi cenderung menurun, tampak merupakan anomali yang tidak lazim, tidak terjadi di banyak negara lain. Secara teori juga tidak terjadi dalam praktek dunia usaha secara umum. Bisa dikatakan fenomena ini keluar dari jalur teori-teori ekonomi yang dipercaya dewasa ini.
Kondisi tersebut di atas menimbulkan spekukasi, jangan-jangan utang tidak digunakan untuk kepentingan pembangunan tapi digunakan untuk kepentingan lain lain.
Atau jangan-jangan utang ini habis dikorupsi? Hal itu bisa saja terjadi karena belum pernah Indonesia menyelidiki kaitan utang dan korupsi dan belum pernah KPK melakukan tangkap tangan dalam kasus yang berkaitan dengan utang negara. Mudah mudah-mudahan Presiden Jokowi menyadari masalah ini.
Oleh Pengamat Ekonomi Salamuddin Daeng