NGUTANG lagi. Kali ini berjumlah US$4 miliar dalam bentuk penerbitan global bond. Ada tiga seri global bond yang diterbitkan, masing-masing bertenor 5, 10, dan 30 tahun. Dengan kurs tengah Bank Indonesia hari ini (12/11/17) Rp13.546/US$, maka nilai utang baru itu mencapai Rp54,2 triliun.
Begitulah yang dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani, awal Desember silam. Padahal, sampai akhir Oktober 2017, utang Indonesia sudah mencapai US$287,2 miliar atau setara dengan Rp3.898 tirliun. Artinya, sampai awal bulan ini, total utang Indonesia setidaknya mencapai Rp3.952 triliun. Hampir Rp4.000 triliun! Luar biasa…
Bicara soal Menkeu yang satu ini, sepertinya nyaris tidak mungkin tidak bicara soal utang. Seolah-olah, Sri identik dangan utang. Ini seolah-olah, lho… Dengan kewenangan yang dimiliki, dia terlampau rajin membuat utang baru. Lagi dan lagi. Padahal, peringatan tentang bahaya utang yang terus menjulang sudah datang dari segala penjuru. Mulai dari para ekonom, dunia usaha, DPR, bahkan kalangan grass root.
Kekhawatiran terhadap utang yang menggunung juga menjadi obrolan yang ngeri-ngeri sedap di segala tempat. Mulai diskusi para aktivis dan seminar-seminar bergengsi di hotel bintang, sampai di warung-warung kopi, tempat grass root allias kawulo alit kongkow. Tukang bubur ayam langganan saya biasa sarapan yang mangkal di belakang pasar trasidional dekat rumah pun sempat ngomong soal utang ini. Tapi sepertinya perempuan kelahiran Lampung ini menganut prinsip biar anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Tidak terbuka
Dalam perkara utang, Pemerintah memang cenderung tidak terbuka. Maksud saya begini. Nyanyian yang terus diulang-ulang ke hadapan publik adalah, bahwa utang sangat diperlukan untuk menambal defisit APBN. Maklum, belanja negara lebih besar ketimbang pendapatan.
Utang juga dibutuhkan membiayai pendidikan, membangun infrastruktur, membiayai birokrasi, untuk transfer ke daerah, dan lain-lainnya.
Pemerintah (nyaris) tidak pernah mengatakan, bahwa utang baru dibuat untuk membayar utang lama. Jangan lagi berharap Menkeu dan jajarannya bakal menjelaskan, bahwa alokasi pembayaran utang kita jauh lebih besar daripada anggaran untuk pendidikan, pembangunan infrastruktur, belanja birokrasi, dan lainnya.
Pada APBN 2017, misalnya, alokasi anggaran terbesar ditempati untuk pembayaran bunga, pokok, dan cicilan utang. Jumlahnya mencapai Rp486 triliun. Tempat kedua dan ketiga masing-masing, belanja pendidikan Rp416 triliun dan infrastruktur sebesar Rp387,3 triliun.
Di APBN 2018, pemerintah menganggarkan pembayaran bunga utang mencapai Rp238,6 triliun. Sedangkan alokasi untuk membayar cicilan pokok utang sebesar Rp399,2 triliun. Dengan demikian, total anggaran pembayaran utang tahun depan mencapai Rp637,8 triliun. sungguh suatu jumlah yang amat sangat besar!
Di sinilah tidak terbukanya pemerintah. Pertama, pemerintah tidak pernah menyebutkan apalagi menjelaskan, bahwa alokasi anggaran terbesar dalam APBN adalah untuk membayar utang. Kedua, pemerintah sengaja menyamarkan nomenklatur alokasi pembayaran cicilan pokok utang, dan menggantinya dengan frasa pembiayaan utang. Apa maksudnya?
Stop utang
Kembali soal utang, mantra sihir yang selalu dihembuskan Sri dan jajarannya adalah, utang mutlak diperlukan untuk membiayai APBN, untuk membangun dan membiayai birokrasi agar bisa melayani rakyat. Benarkah demikian? Mungkinkah kita membangun dan mengelola negeri serta melayani rakyat tanpa harus berutang?
Jawabnya, bisa! Atau, setidaknya bisa tanpa membuat utang baru. Ini bukan dongeng, bukan juga lamunan utopis. Ini benar-benar pernah terjadi.
Dulu, ketika Pak Harto berkuasa, dia membuat utang senilai US$48,8 miliar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi rata-rata positif 6% selama 32 tahun. Di awal-awal pemerintahannya bahkan sempat tumbuh di kisaran 8%. Pemerintahan Habibie memerlukan US$19,6 miliar gna mengangkat perekonomian dari -9% ke minus -4,5%. Di era Gus Dur, mampu mengurangi utang US$4,15 miliar dan mendongkrak ekonomi minus dari -4,5% jadi 4%.
Presiden Megawati berutang US$64,39 miliar agar ekonomi tumbuh di kisaran 4% selama tiga tahun. Pemerintahan SBY memerlukan US$158,8 miliar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 4% hingga 6% selama 10 tahun. Dan terakhir, pemerintahan Jokowi butuh US$133 miliar hanya dalam tempo tiga tahun. Hasilnya, ekonomi hanya berkutat di angka 5%.
Berbekal data tersebut, kinerja terbaik terjadi pada era Presiden Gus Dur. Ekonomi tumbuh dari -4,5% menjadi 4% alias 8,5%. Pada saat yang sama, utang pemerintah justru berkurang. Ternyata, Indonesia pernah bisa membangun tanpa menambah utang, bahkan berkurang.
Hebatnya lagi, growth tadi sangat berkualitas. Pertumbuhan ekonomi dibagi dengan adil bagi seluruh masyarakat. Indikatornya, koofisien rasio Gini turun ke 0,31. Ini adalah rekor terendah Indonesia sepanjang 50 tahun terakhir. Dulu, Soeharto pada 1993 pernah menekan Gini Ratio ke titik 0,32. Bedanya, rezim Suharto perlu 26 tahun (1967-1993) untuk menurunkannya dari 0,37ke 0,32. Sedangkan tim ekonomi Gus Dur cuma perlu waktu kurang dari dua tahun (1999-2001) untuk menurunkan dari 0,37 ke 0,31.
Ada sejumlah langkah yang ditempuh tim ekonomi Gus Dur dalam mengelola utang dan membangun negeri. Antara lain melalui teknik debt swapt dan restrukturisasi. Strategi lain, melakukan revalusasi aset dan sekuritisasi aset. Khusus dua teknik terkakhir sebenarnya sudah sering disampaikan Presiden Jokowi. Sebagian kalangan bahkan menyebut revaluasi aset dan sekuritisasi aset sebagai bagian dari Jokowinomics. Sayangnya, tim ekonomi Presiden lebih asyik dengan program dan agendanya masing-masing.
Sebaliknya, apa hasil dari hobi utang yang terus digenjot oleh Sri bagi negeri ini? Secara makro, pertumbuhan ekonomi enggan beringsut dari 5%. Ini jauh dari kebutuhan yang seharusnya. Lapangan kerja tetap saja terbatas. Memang ada bahkan banyak, tapi sebagian besar diisi oleh pekerja impor dari Cina. Daya beli masyarakat terus terjun, impor barang konsumsi melonjak-lonjak sehingga industri lokal sempoyongan, dan jumlah penduduk miskin bertambah. BPS mencatat, jumlah jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 27,77 juta orang pada Maret 2017, atau naik sekitar 10.000 orang dibanding September 2016 yang 27,76 juta orang.
Dengan fakta-fakta seperti ini, akankah Indonesia terus berutang? How high can you go? Ingat, jumlahnya terus dan kian menjulang dan makin mengerikan. Atau, kalau boleh ganti pertanyaan, masih perlukah Menkeu seperti ini terus dipertahankan?
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)