MENANG peringatan hari Perempuan Internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret, seorang aktivis Honduras, Berta Cáceres Flores dibunuh oleh militer di rumahnya pada tanggal 3 Maret 2016.Â
Berta Cáceres selama ini dikenal sebagai sosok yang gigih memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, khususnya dalam mempertahankan tanah dan airnya dari ancaman investasi.Â
Berta memimpin perjuangan masyarakat adat melawan proyek PLTA Agua Zarca, sebuah proyek gabungan antara Badan Usaha Milik Negara Honduras dengan Badan Usaha Milik Negara China yang bernama Sinohydro, sebuah badan usaha transnasional yang mengembangkan proyek PLTA di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Karena kegigihan perjuangannya itulah Berta bahkan pernah dianugerahi Environmental Prize oleh Goldman Foundation pada tahun 2015. Ironi, di dalam negerinya, Berta justru dianggap melawan pemerintah.Â
Dianggap anti pembangunan, dan karenanya menjadi musuh bagi negara. Negara melalui tangan militer telah membunuh Berta di kediamannya, setelah berbagai ancaman dan intimidasi terus menerus dilakukan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai bagian dari gerakan global yang memperjuangkan keadilan ekologis mengutuk pembunuhan yang dilakukan oleh negara terhadap pejuang lingkungan hidup dan hak asasi manusia, Berta Cáceres.Â
Pemerintah Honduras harus bertanggungjawab terhadap pembunuhan dan kejahatan ini. Ini merupakan bentuk yang paling barbar, memfasilitasi investasi dengan mengorbankan nyawa, dan juga sebagai bentuk teror dan upaya pembungkaman terhadap aktivis pembela lingkungan dan HAM.Â
Selain pemerintah, ada non state actor lainnya yang juga harus bertanggungjawab, yakni korporasi antara lain Siemens dan Voith Hydro dan lembaga keuangan antara lain Bank Dutch FMO Belanda, FinnFund Finlandia, the Inter-American Development Bank, European Bank dan World Bank yang mendanai proyek PLTA ini.
Selain pemerintah Honduras, Pemerintah Amerika, Belanda dan Finlandia juga harus bertanggungjawab terhadap investasi mereka di Honduras dan negara lain. Mereka harus keluar dari bisnis yang telah melanggar hak asasi manusia dan merusak lingkungan hidup. Â
Bukan hanya di Honduras, di Indonesia meski dengan situasi demokrasi yang berbeda, praktek kekerasan dan pelanggaran HAM berjalan beriringan dengan semakin massifnya investasi meluaskan bisnisnya, khususnya di industri ekstraktive dan infrastruktur.Â
Pemerintahan Jokowi-JK terus menerus memberikan kemudahan investasi bagi korporasi, seperti pembangunan waduk Jati Gede yang tetap dipaksakan berjalan, meski masyarakat telah menolak. Apalagi Sinohydro juga berinvestasi dalam pembangunan waduk Jati Gede di Jawa Barat.
WALHI mendesak agar semua Kepala Negara berhenti menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi warga negaranya, dengan atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Terlebih apa yang diperjuangkan oleh warga negaranya merupakan hak-hak dasar yang mestinya dihormati. Negara harusnya memberikan jaminan perlindungan bagi para pembela lingkungan hidup dan HAM, dan bukan sebaliknya.
Oleh Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI
‎