TANGGALÂ 8 Mei 2016, sudah 23 tahun, kasus Marsinah masih diabaikan dan belum dituntaskan oleh pemerintah. 23 tahun lalu, tepatnya 8 Mei 1993, Marsinah yang merupakan aktivis buruh di PT Catur Putra Surya (CPS) ditemukan terbunuh di hutan di dusun Jegong, desa Wilangan-Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Sebelumnya Marsinah sempat diculik dan menghilang selama 3 (tiga) hari. Kasus Marsinah ini sendiri telah terdaftar di Organisasi Buruh Internasional (ILO) dengan nomor registrasi 1713.
Penyiksaan berat yang mengakibatkan terbunuhnya Marsinah jelas dikarenakan aktivitasnya mengorganisir buruh PT CPS untuk berunjuk rasa menuntut kenaikan upah pokok dari Rp 1.700,- menjadi Rp 2.250,-. Sebelum menghilang, Marsinah diketahui terakhir berada di Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan 13 (tiga belas) orang kawan-kawannya yang dipanggil pihak Kodim, karena dituduh menggelar rapat gelap serta mencegah buruh lainnya untuk masuk kerja.
13 buruh tersebut juga dipaksa mengundurkan diri dari PT. CPS oleh pihak Kodim. Namun setelah berada di Kodim, Marsinah seakan lenyap dan kemudian ditemukan terbunuh tiga hari kemudian dengan berbagai luka bekas penyiksaan. Kasus pembunuhan Marsinah ini menunjukkan bahwa negara melalui aparat keamanan berupaya untuk membungkam gerakan rakyat demi kepentingan para pemilik modal atau kapitalis.
Untuk itu, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) mendesak pemerintah, khususnya Presiden, untuk segera menyelesaikan kasus pembunuhan terhadap Marsinah. Penyelesaian kasus pembunuhan terhadap Marsinah menjadi sangat penting mengingat hingga hari ini masih terjadi peristiwa-peristiwa yang serupa dengan kasus Marsinah di Indonesia. Kriminalisasi terhadap aktivis-aktivis gerakan rakyat, bahkan yang berujung pada pembunuhan terhadap aktivis gerakan rakyat kerap kali bermunculan di Indonesia hingga hari ini.
Tentunya kita masih ingat kasus Salim Kancil yang dibunuh akibat aktif menolak aktivitas penambangan pasir di desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Sementara Tosan menjadi korban penganiayaan dalam kasus yang sama dengan Salim Kancil. Di Jambi juga terjadi kasus pembunuhan terhadap aktivis Serikat Tani Tebo, Indra Pelani.
Selain itu, juga ada kasus kriminalisasi terhadap 23 buruh, 1 orang mahasiswa dan 2 orang pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta yang saat ini sedang dalam tahap persidangan. Kasus kriminalisasi juga kerap kali dialami oleh gerakan tani dan gerakan masyarakat adat, seperti yang terjadi di kasus kriminalisasi 3 (tiga) petani anggota SPP di Tasikmalaya, 1 (satu) petani di Lumajang, 4 (empat) orang anggota masyarakat hukum adat Semende Banding Agung di Talang Cemara, Bengkulu dan masih banyak lagi.
Bahkan di Papua, 1.724 aktivis ditangkap dalam demonstrasi damai yang dilaksanakan serempak di Jayapura, Sorong, Merauke, Fakfak, Wamena, Semarang dan Makassar pada awal bulan Mei ini. Sebelumnya juga sudah terjadi berbagai penangkapan terhadap aktivis-aktivis di Papua.
Banyaknya peristiwa kriminalisasi, bahkan yang yang berujung pada pembunuhan terhadap aktivis gerakan rakyat ini disebabkan oleh masih adanya upaya membungkam gerakan rakyat yang menolak berbagai kebijakan yang merugikan rakyat.
Aturan-aturan yang menghilangkan hak-hak rakyat semakin diperkuat, seperti munculnya PP No 78/2015 tentang Pengupahan yang menghilangkan peran serikat buruh, UU No 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang banyak dijadikan alat untuk mengkriminalisasi gerakan tani dan masyarakat adat, pasal makar yang ada di KUHP serta aturan-aturan represif lainnya.
Keterlibatan TNI dalam penggusuran paksa yang ada di DKI Jakarta juga disinyalir untuk meredam perlawanan warga yang menolak penggusuran. LBH Jakarta mencatat TNI terlibat aktif dalam 65 penggusuran paksa sepanjang 2015, di mana terdapat 113 kasus penggusuran paksa di tahun tersebut.
Munculnya berbagai penguatan aturan-aturan yang represif serta menguatnya pelibatan TNI urusan keamanan dan ketertiban masyarakat menunjukkan bahwa tidak ada perubahan yang signifikan antara peristiwa yang dialami oleh Marsinah di masa lalu dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi saat ini. Pembungkaman terhadap gerakan rakyat masih saja dilakukan oleh penguasa demi kepentingan para pemilik modal.
Untuk melawan upaya pembungkaman rakyat melalui praktek kriminalisasi gerakan rakyat ini, maka KPRI juga mengajak seluruh gerakan rakyat untuk bersama-sama memobilisasi perlawanan di bulan Mei ini. Bulan Mei penuh dengan momentum perlawanan rakyat yang dimulai dengan Hari Buruh Sedunia (MayDay), Hari Pendidikan Nasional, peringatan Marsinah (8 Mei), peringatan peristiwa Trisakti (12 Mei), tragedi Mei 98 (13-15 Mei), hari Kebangkitan Nasional (20 Mei), hingga hari kejatuhan Orde Baru (21 Mei). Berbagai momentum tersebut menjadikan bulan Mei sebagai bulan perlawanan rakyat.
Maka dari itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyatakan sikap mendesak Presiden Joko Widodo untuk segera menyelesaikan kasus pembunuhan terhadap Marsinah yang sudah diabaikan selama 23 tahun.
Mengajak seluruh gerakan rakyat untuk menjadikan dan memperingati Marsinah sebagai Pahlawan Buruh Perempuan Indonesia. Hentikan seluruh praktek kriminalisasi dan pembunuhan terhadap aktivis-aktivis gerakan rakyat yang memperjuangkan hak-hak rakyat;
Konsolidasikan seluruh gerakan rakyat Multi sektor untuk mengusung agenda bulan Mei sebagai Bulan Perlawanan Rakyat. Bangun persatuan kekuatan rakyat Multi sektor untuk melawan rezim yang represif terhadap perjuangan gerakan rakyat demi kepentingan pemilik modal.
Bangun kekuatan politik persatuan gerakan rakyat Multi sektor dengan membangun partai politik alternatif dari gerakan rakyat untuk mewujudkan daulat rakyat dan melawan kekuatan Kapitalisme-Neoliberalisme. Bangun persatuan dan solidaritas seluruh elemen rakyat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Oleh Ketua Dewan Pimpinan Nasional Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), Chabibullah                                                                  Â
 Â