JIKA lawan kata dari lapar adalah kenyang, lantas apa dalam bahasa Indonesianya lawan kata dari ‘haus” atau “dahaga”?
Hayoo apa yo…? Nyerah atau masih penasaran?
Anggap saja latihan ringan fitness otak di bulan Ramadhan ketika kita justru sedang berlatih menahan rasa lapar dan haus, selain tentunya menjinakkan segala syahwat.
Selama ini biasanya penggunaan kata “segar” atau “puas” bahkan “tidak haus lagi’ dianggap merupakan kata yang mewakili lawan kata dari “haus” atau “dahaga”.
Namun saya nilai kata-kata itu kurang atau belum tepat.
Kita perlu sebuah kata yang mampu mewakili suatu keadaan atau kondisi ketika kita tidak lagi merasa haus.
Dan betapa selama puluhan tahun kita menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi maupun bahasa pergaulan, ternyata kita sebagai bangsa belum punya kata yang tepat, yang mengekspresikan lawan kata haus atau dahaga itu.
Kekosongan tersebut saya pikir harus segera dicarikan jalan keluarnya, dengan penggunaan kata baru yang dipandang lebih tepat, sehingga akhirnya bisa familiar saat diucapkan, didengar, maupun dituliskan sebagai lawan dari kata haus atau dahaga itu.
Terlebih kata-kata lain dalam Bahasa Indonesia yang lebih belakangan muncul, yang kebutuhan penggunaannyan dirasa penting sebagai akibat pemakaian kata-kata asing yang marak sebelumnya, seperti kata “download” dan “upload” misalnya, akhirnya telah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, yakni “unduh” dan “unggah”.
Tentu saja akhirnya kata-kata baru itu memperkaya khazanah kata dalam Bahasa Indonesia.
Saya usul, mumpung di bulan puasa pula sehingga setidaknya bisa agak kontekstual kebutuhan untuk segera mendapatkan kata yang tepat sebagai lawan kata haus atau dahaga itu.
Bagaimana bila lawan kota dari haus atau dahaga adalah “rayan”. Kata itu terinspirasi dari nama pintu surga yang khusus diciptakan Allah untuk orang-orang yang menjalankan ibadah puasa dengan sebenar-benarnya puasa dalam penglihatan Allah SWT.
Sebagaimana dalam hadis shahih riwayat Bukhari yang artinya sebagai berikut:
“Sesungguhnya di surga ada pintu yang dinamakan ‘Ar-Royyan’. Orang-orang yang berpuasa di hari kiamat masuk dari pintu itu. Tidak dibolehkan seorang pun memasukinya selain meraka. Lalu dikatakan, ‘Dimana orang-orang yang berpuasa?’ Mereka pun bangkit, tidak ada seorang pun yang masuk kecuali dari mereka. Ketika mereka telah masuk, (pintunya) ditutup dan tidak seorang pun masuk lagi.”
Kata Ar-Royyan yang digunakan sebagai nama pintu surga bagi orang yang berpuasa itu memiliki makna, bahwa ketika orang-orang berpuasa yang diridhoi Allah itu kelak diberi kesempatan olehNya melewati pintu surga itu, maka orang-orang tersebut tidak akan pernah lagi merasakan dahaga.
Dari situlah, sekali lagi saya usul, untuk menggunakan kata “rayan” sebagai lawan dari kata “haus”, yang diserap langsung dari Bahasa Arab, tepatnya dari nama pintu surga yang disiapkan Tuhan bagi orang-orang yang berpuasa, yang ketika seseorang melalui pintu itu, ia tidak akan didera rasa haus lagi.
Contoh penggunaannya dalam kalimat:
– Setelah adik minum segelas es sirup di tengah panasnya terik matahari, ia pun rayan.
– Paman Doblang bukan tipe pemimpin yang “haus kekuasaan”, melainkan “rayan kekuasaan”.
Semoga bermanfaat dan menginspirasi. Salam Anak Nusantara.
Oleh: Nanang Djamaludin, penggiat KIAT 98 (Komunitas Intelektual Aktivis 98) dan Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN)